Aku berdiri sekaligus melihat sebuah bangunan yang indah sekarang. Desain interior yang bisa memikat mata siapa pun, membuatku tercengang. Mewah, namun tetap memancarkan dunia alam. Kupejamkan mata untuk beberapa saat, kemudian kubuka kembali. Benar, aku tidak bermimpi.
"Apa kau senang?" tanya Walton tiba-tiba.
"Bahkan aku takjub", jawabku lalu merentangkan kedua tanganku.
Walton menghampiriku. Dia menarik tanganku membuat kami berhadapan sekarang. Kedua matanya menatapku sangat lekat. Senyumannya terpancar tulus di wajahnya. Tentu saja, aku membalasnya dengan senyuman kebahagiaanku.
"Aku menghadiahkan ini untuk pernikahan kita, Chriss. Aku senang kau menyukainya", katanya dengan tulus.
Spontan aku melangkah mundur. Genggamannya kulepas paksa. Apakah dia tidak menyesal menghadiahkan ini untukku? Batinku menolak. Siapa saja yang menyaksikan kami berdua akan mengatakan kalau kami adalah sepasang suami-istri yang saling mencintai. Hatiku mencelos. Sayangnya tidak.
"Apa maksudmu Walton? Kau tahu sendiri kita menikah dengan terpaksa atas dasar janji bodoh masa kecil Ludwig dan ayah", ucapku menyesal.
Aku merasakan ketulusan Walton menyakitiku sekarang. Dia memberiku sebuah perasaan yang siapa saja akan terlena oleh perbuatannya. Perasaan dari setiap wanita yang meyakini kalau perbuatannya memang untuk wanitanya. Tapi aku ragu dengan itu. Sejak awal kami hanya sebatas satu jurusan. Tidak lebih.
"Aku hanya menghadiahkanmu karena aku menyukainya", ujarnya.
Benar, dia tidak menginginkanku seutuhnya. Aku bukan miliknya, kami hanya terjebak janji bodoh ayah kami masing-masing, tukasku dalam batin. Aku menunduk, tak ingin melihatnya.
"Kuharap kau juga menyukainya. Untuk beberapa bulan ke depan, aku akan tinggal di sini, Chriss", katanya.
"Aku tahu kau pasti tidak ingin tinggal di sini bersamaku. Kau bisa dengan orang lain jika kau merasa bosan selama aku pergi. Atau kau bis.." kata-katanya kupotong.
"Aku ikut bersamamu", ucapku cepat.
Aku tak mengerti mengapa aku mengatakan seperti itu. Hatiku tak mampu membuat alasan saat kutahu dia memberikan hadiah untuk pernikahan kami. Ingat, aku hanya bersimpati.
***
Aku membuatkan teh di dapur kecil kami. Kami? Ya, kami. Karena untuk tiga tahun ke depan, rumah ini milikku dan miliknya. Setelah itu, aku tidak tahu.
Walton sedang mandi di kamar atas. Sebenarnya aku sangat bahagia ketika dia memberikan kejutan untuk pernikahan kami. Sebuah bangunan yang luas, mewah, dan tinggi berdiri di hadapan pantai. Sungguh, ini menakjubkan. Ya, aku tak terkejut ketika seluruh furniture yang mewah ini terukir nama The Othman Co. Semacam sponsor?
"Chriss", kata Walton yang tiba-tiba datang sambil mengusap-usapkan rambutnya dengan handuk. Dia menghampiriku yang masih mengenakan bathrobe.
"Walton, apa di sini tidak ada seorang pun house keeper? Aku dari tadi tidak melihatnya", ujarku sambil meletakkan teh di meja kecil yang menyatu dengan dapur.
"Aku hanya ingin kita berdua di sini, Chriss", katanya membuatku terkejut.
"Apa katamu? Kau ingin membuatku secara tidak langsung membersihkan penthouse sebesar ini?" ujarku dengan mata terbelalak.
"Hahahaha..."
Dia tertawa kemudian pergi tanpa memberikan penjelasan.
"Walton, jangan bercanda", ucapku dengan nada yang sedikit keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomansaWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...