"Aaaayah.. Appaaa yang ayah lakukan di sini?" tanyaku dengan terbata-bata.
"Apa kalian sedang bertengkar?" tanyanya.
Aku mematung. Apa yang harus kukatakan padanya? Memang benar, aku sedang marah pada Walton. Tapi aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya kalau Walton mengetahui aku bersama pria lain semalam.
"Hanya bertengkar biasa saja", jawabku.
Aku berjalan menghampirinya lalu duduk di sebelah ayahku yang masih berdiri. Tak lama kemudian ayahku seperti melirik ke arah seseorang membuatku ikut mengarahkan pandanganku juga. Rupanya Walton yang sedang berdiri di depan pintu tamu.
"Mr. Welner, bukankah kau sedang berada di New York?" tanya Walton sambil berjalan ke arah kami.
Walton kemudian duduk di seberang kami diikuti dengan ayah yang kini duduk juga.
"Yah, tadinya aku di New York. Namun, tiba-tiba ada urusan mendadak membuatku kembali ke Pennsylvnia", jelas ayah.
"Ohh.. come on, Dad. Mom, how about her? Where is she now?" selaku.
"No problem, Honey. She's still in New York now. Kurasa dia terlalu lelah jika harus balik ke sini bersamaku", ujarnya sambil mengusap bahuku agar aku tidak cemas soal ibuku.
"Jadi, bagaimana dengan makan malamnya, Ayah?" tanyaku lagi sambil melirik ke arah Walton.
"Sebenarnya, aku tidak keberatan jika makan malam itu tetap berjalan meskipun tanpaku. Namun ibumu terlalu mencintaiku sampai-sampai dia tidak ingin jika berada dalam suatu acara tanpa ada aku di sampingnya", katanya lalu tersenyum.
Mendengar perkataan ayah, suasana menjadi semakin kikuk meskipun dia sebenarnya ingin bercanda namun alhasil menjadi tidak lucu sama sekali. Bagaimana tidak, aku dan Walton adalah sepasang suami-istri yang tidak saling mencintai tidak seperti ayah dan ibuku. Aku lalu mengernyit mengingat kejadian yang baru saja terjadi antara aku dan Walton. Kini aku hanya bisa mematung dan menegang, dan kurasa Walton juga melakukan hal yang sama terlihat dari ekspresinya saat ini. Rupanya ayah menyadari suasana kikuk ini.
"Apa kalian sedang ada masalah?" tanyanya sambil memandangku dan memandang Walton secara bergantian.
Aku menelan ludahku dan berkata, "Tidak ada, Ayah." Aku lalu menunduk. Aku tak bisa menatap ayahku sekarang karena secara tidak langsung aku berbohong padanya. Padahal permasalahan terbesar kami adalah kami tidak saling mencintai. Namun aku tidak mungkin mengatakan hal yang seperti itu pada ayah. Aku tidak ingin melukai hatinya.
"Aku tahu, menjalani pernikahan di usia kalian yang terbilang muda, bukanlah hal yang mudah untuk dilewati. Satu persatu, kerikil-kerikil kehidupan akan kalian lalui sebentar lagi dan mungkin kalian sedang lalui sekarang. Pesanku hanya satu, tetaplah setia satu sama lain. Jangan pernah mengkhianati arti dari suatu pernikahan", jelasnya.
Perkataannya yang menohok membuatku terasa ditusuk oleh jarum. Aku sangat malu sekarang. Ayahku menasihati kami berdua padahal aku, putri satu-satunya, telah mengkhianati suamiku sendiri. Aku melirik ke arah Walton yang sedang menatap lurus dengan pandangan yang kosong. Aku mendengus karena mungkin Walton masih marah karena perbuatanku semalam. Setelah beberapa saat, kulihat Walton yang kini menunduk.
"Ayah, bagaimana kalau ayah minum teh atau kopi dulu?" tanyaku alih-alih untuk mencairkan suasana.
"Tidak perlu, Sayang. Ayah harus pergi sekarang. Ayah hanya mampir sebentar untuk memberitahu kalian soal makan malam itu sambil melihat keadaan kalian saat ini", jawabnya.
"Ayah harus pergi, Walton, Chris", lanjutnya lagi sembari berdiri diikuti aku dan Walton yang berdiri juga.
Kami lalu berjalan mengantarkan ayah sampai di depan pintu. Sesaat ayah masuk ke mobil, ayah menepuk bahuku dan berkata, "Jadilah istri yang baik, Sayang. Walton adalah pria yang baik juga." Aku tersenyum mendengar ucapannya kemudian mengangguk. Ayah berjalan meninggalkan kami lalu masuk ke dalam mobil yang sudah dibukakan oleh Marcus, asisten pribadinya. Marcus menunduk menghormat lalu masuk ke dalam mobil dan kemudian meninggalkan mansion kami.
Kudengar suara kaki Walton yang hendak berjalan. Cepat-cepat aku menoleh ke arahnya dan berkata, "Walton, apa kau masih ingin makan sesuatu? Aku akan membuatkannya padamu." Mungkin ini agak terlihat aneh, tapi aku tak mungkin terus-terusan tidak mengacuhkannya. Sekali-kali aku bersikap baik padanya itu tidak akan menjadi suatu masalah, bukan. Aku akan melakukan yang terbaik meskipun aku tak bisa mencintainya sama sekali.
"Aku sudah menyuruh Bertha untuk membuatkan makanan untukku", ujarnya sambil berjalan meninggalkanku.
Aku lalu mencelos karena memang benar, aku tadi mengatakan agar dia menyuruh Bertha untuk membuatkan makanan untuknya. Namun mengapa ketika aku ingin bersikap baik, dia malah mengatakan hal seperti itu.
Kemudian, aku mengikuti Walton berjalan ke arah meja makan. Kulihat Bertha yang sedang membawakan steak berjalan ke arah kami. Walton kemudian duduk sedangkan aku masih berdiri. Lalu Walton melirik ke arahku.
"Apa kau juga ingin makan sesuatu Ms. Welner.. oh tidak, maksudku Ms. Hobbs?" tanyanya dengan alis yang bertautan ke atas.
Seketika kemarahanku memuncak mendengar pertanyaannya yang menohok itu. Aku sudah ingin bersikap baik padanya tapi dia malah seperti mengolok-olok aku sekarang. You're the fucking Othman ever, brengsek, erangku dalam batin.
"Ohh.. thank you so much, Mr. Othman. Aku lebih menyukai nama belakang itu kau ucapkan untuk menyebutku", jawabku dengan nada sinis lalu tersenyum.
"Selamat makan", ucapku lagi lalu pergi meninggalkannya.
***
"Apa maksudnya mengatakan itu? Huh, padahal aku sudah ingin bersikap baik padanya. Namun apa yang dilakukannya? Dasar pria brengsek!!" celotehku yang entah dengan siapa.
Aku berjalan mondar-mandir di dekat pintu. Kemarahanku kini sedang memuncak karena sikapnya tadi. Aku sama sekali tidak percaya, Walton bisa bersikap hal yang sangat memalukan seperti itu. Tapi lebih baik, aku tidak memikirkan si brengsek-sialan itu lagi. Dia bisa mengurangi umurku 10 tahun di dunia ini jika terus-terusan memikirkannya.
Kudengar langkah kaki suara menuju ke arah kamar. Cepat-cepat aku berjalan ke kasur lalu pura-pura tidur karena kuyakini itu adalah Walton. Aku sedang tidak ingin melihat wajah Walton sekarang. Jika hal itu terjadi, segala umpatan akan keluar dari mulutku. Lebih baik aku memunggunginya sekarang. Lalu, kudengar pintu terbuka. Aku menelan ludah dan menggenggam erat selimut yang sekarang menutupi tubuhku. Entah dengan alasan apa, saat ini kurasakan di kamar ini sangat dingin.
Dia kemudian berjalan ke arah kasur dan seperti berhenti. Aku tak yakin karena aku tak bisa melihatnya sekarang. Namun, jika dia berjalan ke arah kasur harusnya aku bisa merasakan guncangan-guncangan kecil pertanda seseorang duduk atau berbaring di belakangku. Tapi ini tidak.Mau tak mau, aku berbalik dengan perlahan-lahan. Mataku lalu mencari-cari seseorang yang tak kunjung kutemukan. Aku mengernyit karena tak dapat melihatnya.
"Walton, kaukah itu?" tanyaku sambil melirik-lirik ke segala arah yang ada di ruangan ini.
Tak kunjung kudengar suara untuk menyahutku. Sampai beberapa saat, aku mendengar seseorang berbicara.
"Ya. Aku di sini", jawabnya.
Mataku membulat karena kuyakini, asal suara itu dari bawah kasur. Aku kemudian bergerak cepat dan menemukannya sedang berbaring menyamping memunggungiku. Hatiku mencelos melihatnya. Mengapa di setiap dia melakukan sesuatu yang bisa menyakiti hatiku, ada saja hal yang bisa membuat hatiku terenyuh dan tersentuh melihat tingkahnya? Batinku seperti menjerit melihatnya yang kini di bawah.
"Tidurlah di sofa sebelah sana, Walton", kataku yang masih melihatnya di bawah.
"Seperti yang kau katakan, tempatku di bawah sini", ujarnya.
To be continue ...
-------------------------------------------------------------------------------------
Vote Command Follow
-------------------------------------------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomanceWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...