"Apa kau memberi kode padanya?"
"Tidak. Kau tahu darah tua itu bisa lebih peka dari yang kau duga."
Kalian bisa tebak aku dan Walton sekarang berada di mana? HOTEL. Yahh, hotel. Aku bingung mengapa Pierro membawa kami ke sini yang jelas-jelas jalan menuju Penn sangat berbeda dengan tempat ini. Kupikir Walton memberi kode padanya saat aku dan Walton sedang terbuai suasana. Tapi sesuai jawaban Walton ternyata tidak. Whoaa.. Pierro adalah pria yang sangat berpengalaman di usia mudanya kurasa, ucapku dalam batin yang membuatku tersenyum tergelitik.
Entah mengapa, aku merasa kami sudah cukup lama sekali berada di depan receptionist. Padahal kami hanya minta kunci kamar. Tak peduli dengan harga. Kami hanya membutuhkan kamar.
"Walton, tidakkah kau punya akses sendiri di hotel ini? Ini memakan waktu banyak."
"Haruskah aku memiliki kamar di setiap hotel?"
"Kurasa harus," jawabku dengan nada kesal. Kulihat wanita yang berada di balik meja itu menatapku dengan tatapan penasaran. Yah, mungkin sekarang orang-orang yang melihatku akan berlaku sama dengan wanita yang memakai seragam merah ini. Menatapku dengan tatapan penuh tanya.
***
Walton menciumku dengan sangat buas, begitu pun denganku. Untungnya di dalam elevator hanya ada kami berdua. "Aku belum memakai pengaman, Chriss", kata Walton di sela-sela cumbuan kami. Aku mencelos dalam batin di saat bara nafsuku terbakar oleh bibir manis pria ini, sekaligus ada perasaan kecewa.
"Apa kau tahu aku juga tidak meminum obatku kemarin? Tolong, kau suamiku dan aku istrimu. Biarkan begitu saja. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuat hubungan kita menjadi lebih baik selayaknya pasangan suami-istri, Mr. Othman", kataku dengan nafas terengah-engah karena menurutku itu adalah perkataan terpanjang yang pernah kuucapkan di tengah-tengah suasana hangat seperti ini.
Aku melihat kedua mata miliknya menatapku dengan tatapan senang, haru, sekaligus tajam. Apakah kalian bisa membayangkan tatapannya? Tapi tunggu. Jangan bayangkan, karena tatapan itu hanya milikku. Untuk beberapa saat, kami saling bertatapan hingga akhirnya senyum tipisnya keluar. Walton mengangkatku menghadap padanya. Kedua kakiku kusilangkan di pinggangnya.
"Apa kau tahu aku adalah pria yang tidak pernah menyesal menikah denganmu sejak awal?" tanyanya dengan tatapan tajam tapi sendu. Mendengar itu, aku terpaku dan diam seribu bahasa.
"Terima kasih kau sudah menerimaku."
Walton masih menatapku hingga beberapa detik kemudian, dia menciumku dengan perlahan namun buas. Jika kalian bingung dengan perkataanku, maaf. Aku tidak bisa mendefinisikan gerakan bibirnya di bibirku. Karena aku hanya fokus dengan kenikmatan bibir manisnya.
***
Walton menaruhku di atas kasur putih lalu membuka t-shirt hitam yang dia pakai. Sekarang tubuhnya yang kekar terpampang jelas di depanku. Aku tidak sabar, tubuh kekarnya itu menyentuh tubuhku yang mungil ini.Saat aku menantikan tubuhnya mendarat di tubuhku, Walton mulai membuka celana ketat hitam panjang yg kukenakan. Sontak kedua mataku membulat. Lalu kupegang kedua tangannya yang hendak membuka celanaku. Kemudian dia menatapku heran.
"Apa kau hanya bermodalkan tubuhmu yang kekar itu untuk mendapatkan bagian tubuhku yang paling berharga itu?" tanyaku dengan nada sedikit besar namun terkesan nakal. Walton membalasku dengan senyuman nakalnya.
"Kalau begitu, apa kau mau membuka penutup bagian berhargaku, Mrs. Othman?" tanyanya dengan menyeringai. Aku terkejut bukan main. Sejak kapan ada orang yang dengan terang-terangan menyuruh orang lain membuka, membuka itu? Aku masih terpaku bingung harus berbuat apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomanceWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...