"Apa kau tahu selera makan seperti apa yang akan terjadi padaku sekarang?" tanyaku pada Walton.
"Apa kau tak menyukai semua ini Chriss?" tanya Walton balik. Ada raut kekecewaan pada wajahnya. Aku pun mendengus pelan.
"Rasanya aneh jika harus makan di saat pesawat terbang seperti ini, Walton", tukasku. Dua orang koki datang membawa makanan dan minuman dan meletakkannya di atas meja. Mereka tersenyum padaku dan Walton. Aku pun membalas senyuman mereka.
"Terima kasih", ucapku.
"Selamat menikmati, Ms. Othman", kata salah satu koki itu kemudian mereka menunduk dan pergi kembali ke belakang.
"Tapi kuharap kau menyukai ini semua, Chrisella", ujar Walton sambil meremas lembut tangan kiriku yang sedari tadi kuletakkan di atas meja. Aku pun menatapnya bahagia karena tingkah manisnya ini.
"Tentu", balasku singkat kemudian tersenyum. Walton menatapku sangat dalam membuatku merasa malu. Tangannya pun masih mengelus tanganku.
Namun tiba-tiba Walton terhenti. Aku mengernyit bingung lalu menatapnya. Kedua matanya membulat membuat jantungku berdegup kencang. Lalu kedua matanya yang semula menatapku dalam kini melihat ke jari manisku. Aku pun menyadari apa maksudnya.
"Maafkan aku. Kurasa aku menghilangkannya saat ingin menemuimu", ucapku langsung tanpa dia harus bertanya karena aku mengerti tatapan bingungnya.
"Menemuiku?" ulangnya.
"Saat kau meneleponku untuk pertama kalinya, aku merasa hatiku hancur, Walton. Namun keesokan harinya, aku mengikuti misa yang tak jauh dari hotel Brooks", kata-kataku terpotong ketika kurasakan tangan Walton meremas tanganku agar kasar saat aku menyebutkan nama Brooklyn. Tapi aku menahannya karena kutahu, selama ini aku sudah membuatnya terluka. Itu bahkan tidak sepadan dengan apa yang sudah kuperbuat selama ini padanya.
"Di sanalah aku menyadari semua kesalahanku. Maafkan aku yang terlambat menyadari semua kesalahanku", lanjutku. Kurasakan tangannya mulai melembut lagi.
"Kesalahanmu kesalahanku juga, Chriss", katanya sambil mengelus pipiku.
"Lupakan semuanya! Makanan ini harus segera disantap atau aku akan kelaparan", tukas Walton sambil mengangkat garpu dan pisau makan. Kami pun menyantap makanan yang tadi di sediakan oleh dua koki itu.
"Ngomong-ngomong, pesawat ini sudah take-off atau belum yaa?" tanyaku di sela-sela makan.
"Haha.. Belum. Itu akan terbang jika makanan ini sudah selesai disantap", ujar Walton yang sibuk dengan makanannya. Kau tahu, dia sangat lahap membuatku mengernyit bingung.
"Maksudmu?"
"Meja ini akan terbang jika pesawat sudah take-off", pekik Walton sambil menyeringai. Aku pun menyadari maksudnya. Jadi kami sudah menghabiskan waktu yang cukup lama dengan penuh drama padahal pesawat harus segera take-off. Haha.. Sungguh menggelikan.
_______________________
20 menit kemudian
_______________________Kedua koki tadi datang menghampiri kami. "Apakah Anda menikmati sajian kami, Ms?" tanya salah seorang dari mereka. Aku pun mengangguk senang. "Tentu", jawabku. Walton pun menarikku ke balik pembatas antara tempat duduk para penumpang yang telah disulap menjadi tempat makan yang spesial dengan ruang belakang.
"Ada apa, Walton?" tanyaku.
"Kau harus istirahat, Chriss. Kau belum sepenuhnya sembuh", jawabnya. Aku pun mendengus.
"Bukannya seharusnya setelah merapikan meja dan kursi makan, orang-orangmu membetulkan kursi penumpang lagi?" tanyaku heran.
Kami pun berhenti di depan sebuah pintu. Memang pintunya sangat kecil. Kau tahu, bagaimana layaknya pintu di dalam pesawat. Dia pun berbalik kemudian menatapku. Tatapannya kali ini sangat dalam membuatku sedikit merinding.
"Ada apa?" tanyaku alih-alih mengurangi rasa takutku.
"Aku tidak ingin senyumanmu itu kau tunjukkan pada kedua koki itu, Chriss", ucap Walton.
"Seharusnya aku memecat mereka sekarang juga!" seru Walton. Kukerutkan dahiku karena ini membuatku tidak percaya.
"Sekarang masuklah", perintah Walton. Dia pun membuka pintu itu. Terlihat sebuah ruangan yang berukuran sedang dan di sana terdapat satu kasur dan satu sofa.
"Aku tidak tahu seberapa besar pesawatmu ini, Walton", kataku.
Lagi-lagi dia membuatku terkejut dengan segala yang diperbuatnya. Beberapa detik kemudian, Walton menutup pintu tadi dan menguncinya. Walton pun duduk di sofa tadi kemudian membuka jaket hitamnya dan meletakkannya di belakangnya. Aku pun duduk di atas kasur kemudian menghela napas.
"Kau tahu, jika aku tidur di atas sini maka aku akan terhempas jatuh karena pesawat akan take-off", kataku.
"Tidurlah, pesawat sudah take-off", ujar Walton. Aku terkejut mendengar perkataannya itu.
"Sudah take-off?" tanyaku tak percaya.
"Hmm", dia hanya berdehem. Benarkah? tanyaku dalam batin.
Kemudian Walton menyandarkan tubuhnya ke atas sofa dan menutup kedua matanya. Dia terlihat sangat lelah. Seharusnya dia yang tidur di atas kasur ini bukan aku. Aku tidak keberatan jika harus berganti posisi. Jadi aku memberanikan diri untuk menyuruhnya agar tidur di atas sini.
"Walton, apa kau sudah tidur?" tanyaku pelan.
"Hmmm", dia hanya berdehem namun membuatku sedikit tertawa.
"Kau bahkan masih bisa menjawabku, Walton", tukasku.
"..."
"Tidurlah di sini. Kau membutuhkan kasur ini lebih dari sofa itu, Walton", ucapku. Tiba-tiba Walton membuka matanya dengan cepat membuatku terkejut.
"Apa kau ingin aku tidur di sebelahmu?" tanyanya yang membuat kedua mataku terbelalak. Jadi aku menelan ludahku dengan sangat susah payah.
"Kau bercanda. Kasur ini tidak bisa menampung dua orang sekaligus", ujarku bosan.
"Jika kasurnya besar, apa aku bisa tidur disebelahmu?" tanyanya lagi. Aku pun semakin terkejut dengan pertanyaannya yang menohok itu. Aku mematung dan tak bisa berkata apapun.
"Hentikan, Chriss! Jangan menggodaku seperti itu. Kau tahu, aku sangat berusaha untuk tidak lepas kontrol akibat kerinduanku selama ini. Jadi kau harus segera istirahat!" kata Walton kemudian menutup kedua matanya kembali.
"Kau tahu, kau bisa tidur seperti saat di rumah sakit Walton", ujarku dengan sangat ragu lalu menutup kedua mataku karena ini sangat memalukan.
Kudengar suara sofa mendecit ke arahku. Aku pun membuka kedua mataku lalu melihat Walton sudah berada di sebelahku. Kemudian dia menyeringai.
"Tidurlah", ucap Walton. Aku pun tersenyum dengan situasi yang awkward ini. Lalu aku berbaring di atas kasur kemudian menarik selimut. Sebelum selimut itu benar-benar menutup bagian tubuhku, Walton dengan cepat mendaratkan tangannya di atas perutku. Kedua mataku membulat. Dia hanya tersenyum lalu menidurkan kepalanya di atas kasur sebelahku.
Kurasakan dari dalam selimut Walton mengelus lembut bagian perutku. Sekarang aku merasakan kalau saat ini aku adalah wanita paling bahagia di dunia ini. Bersama pria yang membuatku nyaman adalah bagian terindah dalam hidupku. Wajahnya yang tampan sudah terlelap di sebelahku. Dengan sedikit gugup, aku memberanikan diri untuk mengelus rambut Walton yang ternyata sangat lembut lebih dari rambutku, kurasa.
To be continue..
------------------------------------------------------------
Vote
Command
Follow---
---------------------------------------------------------instagram : lestari_tharulys
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomanceWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...