~ chapter 57 : The Real Effect of Marriage

3.6K 91 1
                                    

Jantungku begitu berdegup kencang ketika kami memasuki pelataran Penn. Memang ini terdengar agak klise karena sejujurnya aku masih belum sepenuhnya siap untuk turun dan semua orang akan mempertanyakan arti dari semua ini. Karena pada awalnya, aku sendiri yang ingin pernikahanku tidak diketahui oleh banyak orang. 

Sekarang aku malah sibuk mengatur nafas dalam-dalam ketika sebentar lagi kami akan berhenti tepat di depan lobby utama kampus. Lalu kulihat keluar jendela dan aku terkejut. Ternyata begitu banyak orang berdiri di sini membuatku heran karena sejatinya tempat ini hanyalah Drop Off Area. Oh shit, this is my bad day, rintihku dalam batin.

Saat kedua mataku berpaling dari jendela, kulihat Walton menatapku sedikit menajam. Mungkin dia tahu kalau aku tidak begitu siap mengakui pernikahan kami sekarang. Lantas aku menunduk, tak ingin melihatnya menatapku lebih lama lagi. Aku menjadi semakin merasa bersalah. 

"Apa kita sebaiknya turun terpisah, Chriss?" tanya Walton dengan nada kecewa. Aku mengangkat kepalaku dan melihatnya. Kini dia tidak menatapku lagi melainkan dia hanya menatap lurus. 

"Apa kau tidak marah padaku?" tanyaku balik dengan ragu-ragu. Sebentar aku menahan napas karena ini membuatku begitu nervous

"Jika aku marah dan membuat satu kesalahan lagi, maka kau akan pergi meninggalkanku", ucap Walton. Tiba-tiba kurasakan sesuatu mengeras di sebelah paha kiriku dan aku yakin, itu adalah tangan Walton yang sudah mengepal. Aku menarik napasku dan membuangnya agar aku sedikit bisa menjelaskan alasanku padanya. 

"Bukan begitu, Walton. Oh come on, aku hanya belum siap hari ini", kataku dengan nada menyesal. Lalu kulihat Walton membalasku dengan seringaiannya membuatku sedikit jengkel. Lantas aku mengerutkan keningku, meminta penjelasan apa arti seringaian sialannya itu. 

"Huh, sekarang kau membuat pagiku buruk, Mr. Othman", tukasku. Saat aku menghadap ke jendela lagi, mobil berhenti tepat di depan pintu lobby. 

"Tuan, kita sudah sampai", ucap Pierro, si pria tua yang selalu setia pada keluarga Othman. 

Walton dan aku masih tetap diam dan tidak keluar. Haruskah aku yang lebih dulu keluar? Tapi anehnya, aku seperti tidak bisa keluar begitu saja. Rasanya kedua kakiku enggan keluar. Kulihat Walton yang juga masih mematung. Lalu aku berdehem, mencoba memecah keheningan ini. 

"Apa kita akan selamanya tinggal di sini? Turunlah lebih dulu jika kita memang harus turun terpisah. Aku akan turun di lobby selanjutnya" jawabku. 

"Sebentar. Aku akan memastikan, apakah kau masih ragu tentang perasaanmu padaku dan tentang pernikahan kita ini?" ucap Walton dengan nada dalam. Aku menaikkan sebelah alisku karena bingung mendengarnya berkata seperti itu.

"Maksudmu?" tanyaku.

Beberapa detik kemudian, bibir panas Walton mendarat di bibirku. Kedua mataku seketika membulat. Rasanya aku sangat lemas. Mengapa saat Walton menciumku tubuhku lemas sekali? Jelas, dia bukan seorang vampire yang ada di serial Twilight. Ohh my godness..

Semakin lama, ciuman Walton semakin dalam. Kedua tanganku pun kurasa sudah berada di lehernya. Aku sangat menikmatinya. Namun saat aku menyentuh dada bidang Walton, suara klakson mobil yang berada di belakang terdengar begitu nyaring berulang kali. Jadi kami melepaskan ciumannya. Walton menatapku sesaat kemudian menatap kaca mobil depan.

"Maaf, Tuan. Kita berada di Drop Off Area jadi semua mobil itu sudah menunggu lama", kata Pierro.

"Hmmm.. Bagaimana? Apakah kau masih ragu?" tanya Walton. Pertanyaannya itu sedikit menohok di telingaku. Sebenarnya aku tidak ragu tentang perasaanku padanya apalagi pernikahanku. Tapi, bagaimana pun cepat atau lambat, semua orang akan tahu. Benar 'kan?

Dengan sedikit senyuman dan percaya diri, aku mengangguk pelan. Walton menggenggam tanganku dan membuka pintu. Kurasakan tanganku sedikit gemetar namun Walton menggenggamnya sedikit keras. Aku tahu, perasaannya sudah terlalu banyak kusakiti selama ini. Dan sekarang aku harus bisa menerimanya sebagai pasangan hidupku.

Aku melihat beberapa orang menatap kami terang-terangan. Tak banyak pula yang berbisik-bisik sekaligus menatap sinis. Aku mencoba untuk tetap berjalan dan tidak terpengaruh dengan mereka.

Lalu kulihat wajah Walton. Dia hanya menatap lurus ke depan tanpa peduli dengan semuanya. Mungkin saja dia sama sekali tidak terganggu dengan semua ini karena memang semua orang tahu kalau Walton adalah pria yang dingin tapi tampan.

Sampailah kami ke depan kelas. Aku pun berhenti. Menyadari itu, Walton juga ikut berhenti. "Ada apa?" tanya Walton. Aku yang tadinya menunduk kemudian menatap Walton. "Kau yakin semua orang akan mencemooh kita karena kita adalah sepasang suami istri", ucapku pelan. Kulihat rahang bawah Walton mengeras. Tanganku pun digenggam menjadi sangat keras membuatku merintih kesakitan.

"Aw.. Kau menyakitiku, Mr. Othman", rintihku. Dengan itu, Walton melepaskan genggamannya. Lantas aku memeriksa tanganku dan ternyata sudah memerah.

"Masuklah wahai pengantin baru yang memiliki sejuta masalah.." ucap Josephine yang datang tiba-tiba.

Aku melihat ke arah datangnya suara. Di sana sudah berdiri Josephine dan Darren. Aku pun langsung memeluk Josephine karena jujur saja, aku rindu padanya. Setelah itu, aku melihat ke arah Darren yang hanya memasang wajah masam sedari tadi.

"Kau sampai pukul berapa, Jose?" tanyaku.

"Ohh.. Itu tidak penting, Ms. Othman", jawab Josephine dengan tawa yang renyah.

"Kau bercanda", kataku.

"Jadi mengapa wajah pria yang disebelahmu ini seperti kurang gizi?" tanyaku dengan sedikit gelak tawa.

Tiba-tiba Darren menatapku dengan tajam lalu pergi. Saat melewati Walton, Darren berhenti untuk beberapa saat kemudian lanjut masuk ke dalam kelas. Lalu aku melirik Josephine. Dia hanya menaikkan bahunya bingung. Tampaknya dia sama denganku, tidak tahu mengapa Darren bersikap begitu.

"Jangan khawatirkan dia. Mungkin saja dia sedang mengalami masa seperti kita perempuan", kata Josephine sambil tertawa.

"Kuharap juga begitu", balasku. Entah mengapa, aku merasakan Darren hari ini berubah dari biasanya. Apalagi saat melewati Walton tadi. Mungkin aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi aku bisa melihat respon kedua mata Walton yang tiba-tiba menajam. Aku yakin, Darren juga begitu.

"Di mana Carron, Jose? Apa dia masih marah padaku?" tanyaku penasaran. Josephine tidak langsung menjawabku, namun dia tertawa.

"Apa kau tidak kasihan melihat suamimu menunggu kita berdua seperti ini? Biasanya para wanita menghabiskan waktu banyak untuk bercerita, Chrisella", tukas Josephine. Lalu aku berbalik dan melihat Walton yang sudah menyenderkan punggungnya yang tegap itu di dinding.

"Kau benar, Jose. Kuharap kita bisa membicarakan ini nanti", ucapku.

"Tentu", balasnya. Lalu aku pun berjalan mendapatkan Walton dan menarik tangannya masuk ke dalam kelas.

Kulihat semua orang menatap kami dengan heran. Sama seperti di luar, beberapa orang berbisik dan yang lainnya tertawa sinis. Kemudian kedua mataku tertuju pada Darren yang duduk di kursi paling belakang dan sudut. Dia menunduk sambil mengepalkan tangannya. Sungguh, dia seperti monster sekarang yang siap merobek tubuh seseorang apabila dia diganggu. Aku akan menanyakan ini segera padanya.

Mungkin dia butuh hiburan atau sekadar teman ngobrol. Mungkin aku bisa mendengarkan apa yang sedang dialaminya sekarang. Kukira itu berat sampai-sampai dia menjadi seperti ini. Mengingat dia pernah menghiburku juga. Apalagi dia kakak dari sahabatku sendiri, Carron. Jadi, aku tidak mungkin cuek dengan keadaannya itu.

Kami berhenti di kursi bagian tengah. Walton duduk di sebelah kursiku. Tadinya suasana kelas membuatku tak nyaman tapi, kurasa ini menjadi awal bagiku di kehidupanku selanjutnya.

To be continue...

---------------------------------------------------------
---

Vote             Comment             Follow

---
---------------------------------------------------------

instagram : lestari_tharulys

Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang