Aku terbangun dari tidurku ketika kurasakan ada sesuatu yang mengangkatku. Pria yang bisa menggetarkan hatiku. Sebentar kami saling menatap. Dia tersenyum.
"Kau bangun?"
"Hmm", aku hanya berdehem lalu tersenyum.
Kemudian Walton benar-benar mengangkatku. Dari sini, aku bisa melihatnya sepuasku. Wajahnya teramat tampan. Berbeda dari pria-pria lain yang hanya tampan, wajahnya terlihat sangat berkarisma. Aku beruntung masih bisa bersama dengannya sampai saat ini.
Tiba-tiba para petugas medis berlari menghampiri kami. Aku mengernyit karena baru menyadari kalau kami sedang berada di rumah sakit sekarang. Sebelum Walton menempatkanku ke ranjang yang dibawa oleh petugas medis itu, aku menarik lengannya. Dia terhenti dan menatapku bingung.
"Terima kasih karena sudah menolongku", ucapku padanya.
Dia hanya tersenyum. Senyumannya membuatnya kelewat tampan. Tapi sekali lagi, aku merasa bersalah. Seharusnya dia membiarkanku mati di tangan Rosellyn Paige. Walton benar-benar pria yang baik.
Ranjangku didorong oleh beberapa orang petugas medis. Walton juga ikut berjalan mendorong ranjangku. Dia hanya tersenyum padaku. "Kau akan baik-baik saja", ujarnya sebelum masuk ke ruang UGD. Setelah itu, kami berpisah di depan pintu.
***
Aku terbangun dari tidurku ketika mendengar suara-suara yang sedang berbicara. Lalu kedua mataku pun terbuka. Tapi kepalaku terasa pusing sekali. Samar-samar aku melihat Carron dan Josephine berdiri bersama Walton, sepertinya mereka sedang membicarakanku.
"Jadi pria yang selama ini kukira seorang pengamat adalah sahabatmu? Brooklyn sahabatmu?" tanya Carron dengan nada yang sedih.
Kedua mataku membulat penuh. Pria yang dikatakan Josephine dekat dengan Carron adalah Brooks. Ohh.. Tuhan. Dunia ini memang sempit sekali, erangku dalam batin.
"Berarti aku menyukai pria yang salah", ucap Carron lagi. Batin hanya bisa mencelos mendengar ucapan Carron. Dia benar-benar menyukai Brooklyn.
Aku pun menutup kedua mataku kembali agar mereka tak mengetahui aku mendengar pembicaraan mereka tadi. Di kegelapan yang kubuat, aku merasa sangat bersalah pada Carron. Secara tidak langsung, aku sudah mematahkan hatinya. Di satu sisi aku senang mereka jauh-jauh datang ke sini hanya untuk melihatku. Tapi di sisi lain, hati sahabatku sendiri terluka karenaku.
"Bangunlah, Chriss. Aku tahu sejak tadi kau mendengar pembicaraan kami", kata Walton yang membuatku sedikit terkejut.
Dengan ragu-ragu aku membuka kedua mataku dan melihat wajah Walton yang tampan itu terlihat jelas sekarang. Lagi-lagi dia memberiku senyuman hangatnya. Sungguh, hatiku sangat nyaman.
"Kenapa kau berpura-pura tidur, Chriss? Kau tak ingin melihat sahabat-sahabatmu?" tanyanya. Aku menelan ludahku dengan susah payah.
"Aku merasa bersalah pada Carron", jawabku. Aku menunduk malu.
"Kau tak melakukan apa-apa, Chriss. Kau tidak bersalah. Lagi pula sahabatmu itu terlalu cepat menyimpulkan sesuatu", ujar Walton.
"Tidak, aku memang bersalah. Aku akan meminta maaf padanya sekarang. Di mana Carron dan Josephine?" balasku lalu melihat ke sekeliling ruangan.
"Entahlah.." jawab Walton tak acuh.
"Kau harus memikirkan kesehatanmu dulu", lanjutnya.
Aku pun hanya mendengus pelan ketika Walton menurunkan ranjangku dengan remote yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit. "Mereka hanya pergi sebentar untuk melihat-lihat suasana rumah sakit. Tidurlah.. Kau perlu istirahat yang cukup", ujar Walton. Aku tahu dia hanya membuat suatu ekspektasi yang bisa membuatku tenang padahal realitanya aku menyeringai. Tidak ada orang dewasa yang ingin mengetahui suasana kehidupan di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomanceWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...