~ chapter 4 : He is a Man who is Loved I am

12.8K 285 1
                                    

Aku masuk ke dalam kelasku dan memilih duduk di kursi paling depan tapi berada di dekat pintu. Sebentar aku melirik ke sekeliling memastikan apakah Walton hadir atau tidak. Kedua mataku tak henti-henti mencari-cari orang tersebut sampai pertanyaan yang menohok timbul di dalam pikiranku. Mengapa aku mencarinya? Tapi mungkin karena aku tadi memilih jalur yang berbeda sehingga dari aku sampai di Penn  tidak melihatnya sama sekali. Kurasakan ada yang menyentuh pundakku. Aku menoleh ke belakang. 

"Chris, sepertinya kau sedang mencari seseorang. Kau terlihat seperti kebingungan", katanya lirih. Lalu dia tersenyum menyelidik padaku. 

"Benarkah? Hahaha.. Tidak, aku tidak sedang mencari siapa-siapa, Morlin", dustaku dengan sedikit tertawa. Apa wajahku terlihat begitu bingung? Ohhh.. ini tidak boleh terjadi, erangku. Aku lalu mengedipkan mataku kasar membuat perempuan yang tadi bertanya  menjadi kebingungan melihat tingkahku. 

Aku memutuskan berbalik ke depan. Kulihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 09.50 itu berarti tinggal 10 menit lagi agar kelas dimulai. Perasaanku menjadi cemas. Lalu kulihat profesor sudah masuk ke ruangan disusul Walton yang berada di belakangnya. Melihat itu aku mendengus pelan, kupikir dia akan tidak masuk kelas. Perasaan itu mungkin terdengar kalau aku sedang mengkhawatirkannya. Tapi tidak, aku hanya gelisah karena dia dan aku sama-sama pergi ke kampus namun dengan jalur yang berbeda. Jika dia tidak ke kampus, lalu ke mana dia? Pertanyaan itu akan mengusikku terus-menerus.

Aku melirik ke arahnya sebentar dan dengan cepat tatapanku beralih pada profesor agar aku tidak ketahuan olehnya. Kudengar suara di telingaku membuat bola mataku membulat. "Ternyata dia yang kau cari-cari, Chris", katanya dengan nada yang sangat kecil bahkan dikategorikan dalam kata berbisik. Mendengar itu, aku menoleh ke arahnya. Ia melihatku lalu menyemburkan seringaiannya. 

Tidak menggubris perempuan sialan seperti itu adalah pilihan yang terbaik karena profesor yang mengajar mata kuliah kali ini terkenal seram. Siapa saja yang tidak mendengarkan perkataannya saat sedang berbicara akan dikeluarkan dari kelas atau skenario terburuknya auto E untuk mata kuliah Microeconomy, mata kuliah yang diajarkannya. 

"Jadi, apa kalian sudah menemukan kasus yang bisa dibuat menjadi sebuah produk?" tanya Edrick dengan tatapan menyelidik kepada mahasiswa yang ada di ruangan ini. Kegelisahan seketika muncul melebur menjadi suasana yang menakutkan.  Aku yakin, orang-orang yang di ruangan ini belum menemukan kasus yang dikatakan oleh Edrick. 

"Kuharap kalian mengirimkan kasus tersebut dalam bentuk softcopy proposal lewat email saya. Saya tidak akan menerima softcopy itu  lewat pukul 09.00 p.m." katanya dengan nada yang sedikit mengancam. Matanya menyipit. Ia tengah berubah menjadi sesosok vampire ganas kali ini membuat orang-orang yang sedang di dalam ruangan itu bergidik ngeri.  Lalu dia melanjutkan topik baru dan mulai menjelaskan. Aku sama sekali tidak merasa ketakutan karena sudah sejak 4 hari yang lalu aku telah mengerjakannya dan sudah kusimpan di dalam laptopku. Oh My Gosshhh.. Laptopku!! Batinku mengerang karena laptop yang biasa kugunakan tertinggal di apartemenku. 

***

Ting, bunyi elevator menandakan aku sudah berada di lantai 18. Aku keluar dan segera menuju ke apartemenku. Entah mengapa, aku sangat merindukan tempat ini padahal baru 3 hari aku pergi. Kubuka pintu dan segera masuk. Kujatuhkan tubuhku di atas sofa untuk sejenak beristirahat karena aku menyetir dari kampus menuju apartemenku. Itu membutuhkan waktu yang sangat lama. 

Kebanyakan orang menyewa apartemen agar lebih dekat dengan tujuannya yang akan dilewati sehari-hari. Namun berbeda denganku. Aku lebih memilih apartemen yang dekat dengan University of The Art karena jika aku sedang dalam mood yang kurang bagus, aku akan datang ke daerah kampus tersebut meskipun aku bukan mahasiswa di sana. Aku hanya ingin melihat berbagai macam hal-hal yang menarik yang akan kudapatkan disana yang bisa membuat moodku kembali. 

Apartemen ini bukanlah tempat yang kujadikan sebagai tempatku melewati malam setiap hari. Tapi sebagai tempat ketika aku ingin sendiri. Jauh dari orang-orang yang membuat hidupku sengsara. Kurasa. Karena terlalu lelah, aku akhirnya memutuskan untuk tidur sebentar di apartemen. Jadi aku jalan ke kamar lalu membaringkan tubuhku di atas kasur. 

***

Aku bangun dari tidurku karena mendengar ponselku yang berdering. Aku mendengus kesal ketika melihat samar-samar nama yang tertera di ponselku adalah Walton. Aku menerima panggilan tersebut dengan berat hati. 

"Halo. Ada apa?" tanyaku dengan sedikit menyentak. 

"Kau di mana sekarang? Sejak pulang aku tak melihatmu di sini", katanya dengan nada yang sedikit cemas.

Sejak kapan pria ini cemas dengan apa yang kulakukan? Lagi pula, aku tak peduli pada apa yang dilakukannya, batinku mengernyit. 

"Kau tidak perlu tahu aku berada di mana. Aku tak akan pulang malam ini. Jadi jika kau menungguku, jangan tunggu aku", kataku lalu memutuskan panggilanku dengannya. Aku kemudian tergelak dari tidurku. Kulihat langit-langit kamar sudah gelap karena matahari telah tenggelam. Seketika aku melihat jam yang ada di atas dinding sebelah kananku. Ini sudah pukul 08.00 p.m. Pantas si pria aneh itu menanyakan aku di mana.

Aku teringat pada tugas yang diberikan oleh Profesor Edrick tadi. Aku mengambil laptop dan membukanya. Segera kukirimkan padanya softcopy proposal yang dimaksudnya tadi. Terdengar suara aneh yang keluar dari perutku membuatku mendengus. Aku melewatkan makan siang tadi karena takut tidak akan cepat sampai ke Logan Square, tempat apartemenku. 

Aku membuka lemari dingin dan ternyata aku menemukan sosis, roti, dan beberapa sayur-sayuran yang bisa dijadikan sandwich. Tiba-tiba kudengar ada suara ketukan dan segera aku berjalan ke arah pintu untuk membukanya. Aku melihat sesosok pria tengah berdiri sambil membawakan kantongan di kiri-kanan tangannya. Aku terkejut melihatnya dan dia tersenyum melihatku. Aku segera memeluknya karena kurasa aku sangat merindukannya. 

"Aku sangat merindukanmu, Chris", katanya dengan suara parau.

"Me too", jawabku. Aku lalu mencium dadanya yang bidang beberapa kali. Aku benar-benar merindukannya. 

"Apakah kita akan tetap berdiri di sini? Aku tak bisa membalas pelukanmu karena tanganku menenteng kantongan ini", tuturnya sambil menaikkan kedua tangannya yang sedang menenteng kantongan plastik itu. Aku melihatnya dengan senyuman kebahagiaan. Tanpa kuketahui air mataku telah jatuh membasahi pipiku. Aku segera menghapusnya lalu melepaskan pelukanku dari badannya yang kekar. 

"I'm sorry, Nichole. Aku terlalu merindukanmu", kataku lalu menatapnya dengan senyuman indahku. Sudah seminggu lebih aku tak melihatnya karena aku memutuskan hubunganku padanya secara sepihak. Aku sangat mencintainya tapi karena janji Daddy pada Ludwig, membuat hatiku remuk sampai saat ini. Akibatnya aku putus dengannya dan menikah dengan orang yang sama sekali tidak kucintai. 

"Ya, ya, ya. Kau akan mendapatkannya", katanya lagi dengan senyuman jahilnya membuatku memukul kecil dadanya yang bidang. Nichole menjerit kesakitan yang dibuat-buat olehnya. Aku tahu maksud dari jeritannya itu lalu aku mengelus dadanya pada daerah yang kupukul tadi.

Nichole menunduk lalu mencium keningku dengan lembut. Kemudian kami berdua masuk ke dalam apartemenku. Aku mengambil kantongan yang ada di tangannya dan meletakkannya di atas meja. Aku membukanya dan ternyata benar, isinya adalah beberapa makanan. Salah satunya pancake cokelat kesukaanku. Aku tersenyum kegirangan ke arahnya. Nichole mengangkat kedua tangannya seakan ingin memelukku dari sofa tamu. Aku mengambil pancake itu dan segera menyambut pelukannya yang hangat.

Nichole menarik pinggangku agar aku duduk di atas pahanya. Aku lalu duduk dan makan pancake yang dibawanya. Ia membelai rambutku. Ini benar-benar sangat nyaman untukku. Kutatap bola matanya yang biru seperti warna laut yang sangat dalam. Aku mencium bibirnya yang merah itu. Sudah lama aku tidak merasakan bibirnya jadi aku memberanikan diri untuk menciumnya lebih dulu. Lalu aku melepaskannya dengan cepat. Tapi saat aku melepaskannya, Nichole menciumku lebih dalam lagi dan aku terhanyut dalam ciuman panas itu. Pancake yang belum kuhabiskan terjatuh ke lantai. Aku tidak membutuhkannya lagi. Kudengar suaranya yang parau berkata, "Please, don't leave me again, Chris."

To be continue..

Vote             Command           Follow

Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang