~ chapter 7 : Shocking Day

8.1K 184 3
                                    

Walton kini tengah berada di kamar mandi sedangkan aku sedang duduk di atas kasur sembari berbalas surel dengan Nichole lewat laptop yang tadi pagi  kubawa dari apartemen. Di tengah keasyikkanku berbalas surel, Walton ternyata sudah keluar dari kamar mandi dengan bathrobenya. Situasi ini membuatku menutup laptop dengan cepat dan akhirnya dia tersadar lalu melirikku dengan tatapan sinis. 

"Aku sedang berbalas surel dengan Nichole. Kau tidak masalah, 'kan?" kataku lirih dan sedikit menyemburkan senyum paksaan.

Tapi, Walton tidak menjawab pertanyaanku tadi dan dia malah berjalan ke arah lemari pakaiannya. Aku lalu menyeringai ketika menyadari kalau sekarang aku tampak seperti orang yang bodoh. Sangat-sangat bodoh. Ya, tentu saja dia tidak akan peduli. Karena bagaimana pun kami bukanlah sepasang suami-istri yang saling mencintai. Kami berdua hanya terjebak dalam suatu janji yang sangat-sangat konyol. 

Walton kemudian membuka bathrobenya membuatku dengan cepat menutup kedua mataku untuk beberapa saat. "Hey, bisakah kau memakai baju dan celanamu di kamar mandi saja? Please, kita bukan pasangan yang harus melihat satu sama lain!" kataku dengan lirih masih dalam menutup kedua mataku. Kudengar langkah kakinya berjalan ke arahku. Aku menahan nafasku dan entah mengapa jantungku berdegup dengan kencang tiba-tiba. 

Kurasakan di sisi kasur di sebelahku bergerak. Aku yakin kalau Walton tengah duduk di sebelahku. Aku masih tidak bisa membuka kedua mataku. Mungkin karena kegugupanku atau mungkin aku masih berpikir kalau Walton tengah tidak mengenakan apa-apa. Apapun itu, aku hanya bisa menutup kedua mataku sekarang. Tiba-tiba kedua bahuku disentuh oleh kedua tangan besar miliknya. Ini lagi-lagi membuat jantungku semakin berdegup kencang. "Aku tidak sebodoh itu, Chris", katanya dengan suara paraunya tiba-tiba membuatku menegang.

"Bukalah matamu !" serunya. Aku lalu membuka kedua mataku dan betapa terkejutnya aku sekarang. Wajah Walton berada di depan wajahku sekarang. Kami begitu dekat sampai aku merasakan nafasnya menyentuh seluruh wajahku. Matanya yang merah seperti menyembunyikan sesuatu. Ketika mataku menyelidik wajahnya lebih lama, barulah kusadari dibawah matanya sangat hitam. Hatiku mencelos melihat itu. Aku baru menyadari kalau dia ternyata benar-benar menungguku atau bahkan dia hanya letih saja. Aku lalu tertunduk.

Aku melihat kalau dia masih memakai bathrobenya. Syukurlah, setidaknya aku tidak melihatnya tidak mengenakan apa-apa, batinku. Sisi kasurku yang tadi diduduki olehnya, kini kembali ke sebentuk semula, datar. Aku mengangkat pandanganku untuk melihat ke arah Walton. Aku lalu menelan ludahku karena sekarang dia sedang berdiri di sampingku. Ohh, badannya yang kekar terlihat meskipun masih dibalut dengan bathrobe. Dibanding dengan Nichole, Walton lebih unggul sedikit soal postur tubuh yang ideal untuk seorang pria. Tapi tidak, aku tak boleh menghianati Nichole lagi. Aku tak boleh mengecewakannya untuk kedua kalinya. Aku tak boleh terbuai hanya karena bentuk tubuhnya itu. 

Tapi setika, kedua bola mataku membulat ketika Walton membuka pengikat bathrobenya. Dengan cepat aku menutup kembali kedua mataku kali ini dengan tanganku. "Chris", lirihnya membuatku sedikit menegang. "Apa yang kau lakukan? Jangan bertindak bodoh, Mr. Othman !" bentakku masih dalam menutup mataku. Tapi aku tak mendengar suaranya lagi membuatku bingung. Dengan berat hati, aku membuka mataku. Betapa malunya aku ketika melihatnya kini hanya memakai boxer. Mungkin kedua pipiku tengah memerah karena kepanikanku tadi. 

"Sudah kukatakan kalau aku akan memakai boxer, Chris. Aku masih mengingat perjanjian kita untuk tidak melihat satu-sama lain", jelasnya. Aku lalu mendengus pasrah akan hal-hal yang akan selalu kualami saat bersamanya. Dia lalu berjalan kembali ke lemari pakaiannya. Aku hanya bisa menepuk-nepuk jidatku karena sekarang aku sangat malu. Lalu kulihat punggungnya yang tegap dengan postur tubuh yang ideal membuatku sedikit tersenyum. 

Pantas saja hampir seluruh wanita di Penn menyukai bahkan memuja Walton. Tak sedikit wanita yang ingin menjadi wanitanya. Mungkin bila orang-orang tahu kalau kami adalah sepasang suami-istri, aku bisa saja dicap jalang. Padahal sejak pertama kali masuk, aku tak menyukainya karena dia sering kali berdiam diri. Untuk alasan apa, aku tak tahu. Aku bahkan pernah mengatakan pada teman sekelasku kalau dia adalah pria yang sombong dan cuek. Betapa tidak, jika ada tugas yang harusnya dikerjakan bersama-sama dengan beberapa orang, dia malah mengerjakannya sendiri. Anehnya, profesor mengijinkannya begitu. Ohh, aku yakin dia pasti menggunakan kekuasaan orang tuanya. 

"Apa kau tak ingin memakan sesuatu, Chris?" katanya yang kini menatapku heran. Aku segera menghentakkan kesadaranku. Aku tahu kalau dia tadi melihatku sedang melamun. "Mmmm", kataku. Mungkin aku harus keluar dari kamar ini segera. Karena jika harus bersamanya lebih lama lagi, aku akan gila karena situasi yang kadang canggung dan bahkan memalukan bisa terjadi. Aku lalu meletakkan laptopku di meja riasku dan beranjak pergi dari ruangan ini tapi langkahku terhenti karena Walton yang tiba-tiba menahan lenganku. Aku menoleh padanya.

"Chris, aku ingin makan sesuatu yang kau masak."

"Apa? Bertha, ada. Kau bisa menyuruhnya."

"Sudahlah, lupakan", katanya lalu melepaskan tanganku. Aku melihatnya tertunduk lalu pergi. Aku mendengus kesal karena sekarang dia tampak seperti anak-anak yang merengek dimasakin orang tuanya. Aku menarik nafasku.

"Ohh.. come on, Walton. Kau bukanlah seorang anak kecil. Jangan merengek padaku, itu terlihat menjijikkan", erangku. Kulihat langkahnya terhenti saat hendak menyentuh kenop pintu. Aku menelan ludahku. Ada apa lagi sekarang? 

"Kau bahkan tidur dengan seseorang yang bukan suamimu sendiri. Aku bahkan tak bisa mengatakan sesuatu apalagi membentakmu seperti yang kau lakukan padaku. Aku hanya memintamu memasak untukku, tapi kau menolaknya", katanya dengan nada menyesal lalu dia membuka pintu kemudian pergi meninggalkanku yang kini mematung.

Seketika kedua lututku lemas mendengar ucapannya. Aku benar-benar menyesal telah menghianati pernikahan kami. Meskipun kami tidak saling mencintai tapi seharusnya aku tidak melakukan hal-hal yang bisa dikategorikan dengan merusak arti dari sebuah pernikahan. Batinku mencelos seperti biasanya. Tapi kemudian pikiranku menyadarkanku pada suatu kenyataan kalau Walton sudah melangkah di ambang batas kehidupan pribadiku. Aku lalu berdecak kesal dan mengejarnya. Kuhempaskan pintu lalu menuruni tangga dengan cepat. Kulihat Walton yang kini duduk di sofa ruang tamu dengan posisi membelakangiku. 

"Hey, apa maksudmu? Kau lancang mencampuri urusan pribadiku Mr. Othman !" ujarku dengan nada sinis. 

"Kuingatkan sekali lagi, di rumah ini kau dan aku suami-istri. Tapi bila di luar, keadaan berbeda. Kau dan aku tidak saling mengenal", kataku dengan sedikit nada sentakan dari mulutku. 

Ini sudah keterlaluan. Emosiku kini tidak tertahankan karena secara tidak langsung dia telah memata-mataiku secara diam-diam. Lagi pula, aku tidak mempersoalkan kalau dia berbuat hal yang sama seperti yang kulakukan. Itu akan terlihat lebih sinkron. Tapi kini mataku membulat ketika melihat orang yang duduk itu berdiri dan berbalik ke arahku. Dia jelas-jelas bukanlah Walton tapi ayahku sendiri.

To be continue ...

-------------------------------------------------------------------------

Vote                                  Command                                    Follow

-------------------------------------------------------------------------

Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang