~ chapter 12 : The New Guy

7.2K 156 1
                                    

"Aku juga".

***

Suasana di dalam sini sangat kikuk. Bagaimana tidak? Kami berdua tak ada yang membuka suara. Walton sibuk mengotak-atik laptop yang kupikir itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kampus. Sementara aku sibuk memikirkan kata-kata yang menjadi alasan untuk orang-orang yang mungkin akan menanyakan mengapa kami datang dengan mobil yang sama.

"Chriss.. Hellyn menghubungiku. Dia ingin bertemu denganmu", katanya tiba-tiba yang membuatku menghentikan alasan-alasan yang sedang kupikirkan.

Bukannya melihatku, Walton tetap sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang dia kerjakan.

"Aku akan menghubunginya", balasku singkat.

Suasana kembali kikuk. Mengapa setiap bersama Walton bahan pembicaraan selalu tak ada? Seharusnya di antara suami-istri ada saja yang harus dibahas. Tapi tidak dengan kami. Ya, benar. Hubungan ini didasari janji-janji bodoh, batinku mengingat.

Aku menarik napas kuat-kuat saat pintu Walton dibukakan oleh Piero. Piero menunduk dan kubalas dengan senyuman tulusku. Seketika aku berjalan dengan cepat dari area drop off meninggalkan Walton yang sepertinya menungguku turun dari dalam mobil. Tapi maaf, Walton. Aku harus meninggalkanmu, batinku.

Kakiku terus melangkah dengan cepat hingga membuatku terengah-engah ketika berada di depan pintu kelas. Sejenak aku menormalkan denyut jantungku yang berdegup kencang karena lelah. Aku menunduk dan menarik napas sebanyak 3 kali. Tiba-tiba kudengar seseorang menyapaku.

"Morning, Chriss. What are doin' here? Kau terlihat pucat", katanya dengan mata menyipit untuk beberapa saat lalu tersenyum kepadaku.

"Morning. No, I'm fine, Brit. Thanks", balasku.

"Ohh. Anyway, Caron tadi mencarimu", lanjutnya.

"Seriously? Where is she now?"

"I'm not really sure. She is still in corridor."

"Thanks for the information, Brit", jawabku.

Caron adalah sahabatku satu-satunya. Sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya. Kurasa sudah hampir 8 bulan. Sejak dia mengikuti perlombaan debat filsafat yang kupikir tiada gunanya, aku tak bisa menghubunginya sama sekali. Hari ini adalah kali pertamaku bisa bertemu dengan sahabatku yang satu itu.

"Come on", kata Britney sambil menggelengkan kepalanya ke kanan.

Sesaat kami ingin masuk, aku melihat Walton yang berjalan di ujung lorong kelas. Hatiku mencelos. Apa aku harus meminta maaf padanya?

"Brit, duluan saja", ujarku sambil tersenyum.

Untungnya, Britney mengiyakan kata-kataku. Dia berjalan memasuki ruang kelas. Aku kemudian berbalik dan menunggu Walton agar aku bisa menjelaskan apa yang tadi kulakukan. Hubungan kami saat ini sedang baik-baiknya meskipun kami tidak seperti hubungan suami-istri pada umumnya.

"Walton, aku ingin bicara padamu", kataku saat dia sudah berada di hadapanku.

Walton berhenti sesaat. Namun kemudian berjalan masuk ke dalam kelas. Aku mematung. Mengapa dia tak menggubrisku sama sekali? Apa dia sekarang merasa tersinggung dengan yang kulakukan tadi? Batinku tak henti-hentinya bertanya.

Semua orang yang mengikuti kelas yang sama denganku hari ini dengan cepat memasuki kelas. Melihat itu, aku juga masuk ke dalam kelas. Aku melihat ke arah Walton sebentar yang sedang membaca buku kemudian duduk di kursi yang biasa menjadi tempatku.

"Hi", sapa seseorang tiba-tiba.

Aku menoleh ke belakang. Wajahnya tampak asing untukku. Sepertinya aku belum pernah melihatnya sebelumnya.

"Hi, namaku Darren. Aku baru saja pindah dari jurusan filsafat. Semoga kita bisa menjadi teman", jelasnya.

Pantas saja. Mengapa dia pindah ke jurusan Bisnis jika awalnya dia memilih filsafat? Padahal, sahabatku Caron sangat mencintai dunia filsafat sampai harus mengikuti perlombaan debatnya.

"Nice to meet you", balasku sambil tersenyum ramah.

Sesaat aku berbalik ke depan, pria yang namanya Darren tadi menyentuh bahuku. Jadi aku kembali menoleh padanya. Wajahnya menyemburkan senyuman yang membuatku bingung.

"Your name?" tanyanya sambil menaikkan kedua alisnya.

Benar saja. Mungkin karena mood-ku sedang buruk membuatku kurang peduli padanya. Sampai-sampai aku lupa menyebutkan namaku.

"Ohh, I'm sorry."

"I'm Chrisella", jawabku sambil mengulurkan tangan. Tangannya pun diulurkan kembali.

Mataku tak sengaja melihat ke arah Walton. Rupanya dia melihatku entah sejak kapan. Kulihat tangan kirinya yang diletakkan di atas meja mengepal lalu bergetar dan juga rahangnya mengeras.

Aku mengernyit dan sesaat Darren tersenyum, aku kemudian berbalik. Walton marah. Wajahnya sangat menyeramkan. 

Beberapa saat, Ms. Steward masuk ke dalam kelas. Dia menjinjing tas tangannya sambil membawa beberapa buku.

"Morning", sapanya.

"Morning".

"Sepertinya semuanya tampak baik-baik saja, ya. OK, hari ini kita berada dalam mata kuliah Economic Statistics. Apa kalian pernah membaca buku ini?" katanya lalu mengangkat salah satu buku yang dibawanya tadi.

"Judulnya apa, Profesor?" tanya seorang pria yang berada di bagian tengah.

"Mmm.. The Power of Productivity by William W. Lewis", jawabnya.

Buku itu tidak asing bagiku. Aku pernah melihat ayah sedang membaca buku yang dimaksudnya itu belum lama ini. Tapi aku belum pernah membacanya.

Kulihat beberapa orang ada yang menggeleng dan ada juga yang diam. Membuat profesor terdengar mendengus kecil. Namun tiba-tiba matanya berbinar saat kuyakini ada yang membuatnya senang. Aku menoleh mengikuti arah mata profesor, ternyata Walton mengangkat tangan kanannya beberapa saat kemudian menurunkannya.

Aku kemudian berbalik. Kini, aku yang mendengus. Pastilah dia sudah membacanya. Buku itu 'kan ditujukan untuk orang-orang yang sedang memulai bisnis atau sedang berbisnis. Dia 'kan sedang melakukan itu, dengusku dalam batin.

"Baiklah, Mr. Othman. Ternyata kamu selangkah lebih maju dibanding orang-orang di kelas saya", ujar profesor yang sambil tersenyum. Aku lalu mengernyit.

"Oh, ternyata kamu juga", lanjut profesor. Aku kembali mengikuti kedua arah matanya. Rupanya darren, si pria yang baru saja mengajakku berkenalan.

"Benar, profesor."

"Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Siapa namamu?" ujar profesor sambil menaikkan alisnya.

"Darren Hamilton. Saya baru saja pindah jurusan dari filsafat ke jurusan ini."

"Ohh ya? Baiklah, Mr. Hamilton. Kau juga selangkah lebih maju dibanding teman padahal kau awalnya dari filsafat", ujar profesor.

Aku mengernyit.

"Dasar, Chrisella bodoh. Jelas-jelas kau sudah melihat buku itu. Tapi kenapa kau tak membacanya?" celotehku pelan yang entah dengan siapa.

"Ada apa, Ms. Welner?"

To be continue...

-----------------------------------------------------------

Vote            Command           Follow

-----------------------------------------------------------

Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang