~ chapter 32 : Embrassing

2.1K 53 0
                                    

"Jadi kau anak pemiliki perusahaan ini? Huh?" tanyaku lalu mengernyit.

Kedua bola matanya berputar. Dia tersenyum jahil. Lalu didekatkan wajahnya padaku. Aku bingung sekaligus mengerutkan dahiku.

"Apa aku tidak terlihat seperti seorang CEO?" tanyanya balik. Mataku membulat sebentar, lalu menyeringai.

"Tidak. Kau hanya terlihat seperti seorang bajingan yang meminta segala sesuatunya pada orang tuamu!" kecamku. Lalu mengalihkan wajahku darinya.

"Kau? Apa ayahmu, Mr. Werner, tidak mengajarimu sopan santun?" tanyanya sambil melebarkan pupil matanya.

Aku menatapnya cepat. Emosiku tidak tertahankan jika aku mendengar ayahku dijelek-jelekkan seperti itu. Kudekatkan wajahku padanya sehingga aku bisa merasakan napasnya.

"Kau boleh membuatku buruk, tapi jika kau menjelek-jelekkan ayahku, kau akan kubunuh. Kau mengerti itu?" ancamku dengan sinis. Lalu aku pergi meninggalkannya.

"Hey.. Kau mau ke mana?" tanya pria itu. Aku tak memperdulikannya lagi. Ketika aku hendak membuka kenop pintu penthousenya, Brooklyn kembali mengatakan kalimat yang membuatku mengurungkan niat untuk pergi.

"Jika kau pergi sekarang, maka semua orang yang bekerja padaku akan mengatakan kau adalah kekasihku atau bahkan you're my one-nightstand, Ms. Werner", ujarnya. Aku terhenti lalu menoleh.

"Kamarmu di sebelah sana dan kamarku di seberang sana. Aku akan membersihkan diriku sekarang sebelum aku pergi bekerja. Jika kau membutuhkan pakaian atau semacamnya, kau bisa mengambilnya di walk in closet yang ada di kamar itu", jelasnya.

Aku masih mematung sekaligus mengernyit bingung. Karena dia baru mengatakan "walk in closet", itu artinya walk in closet itu adalah milik kekasihnya atau bahkan istrinya. Saat dia naik ke atas, aku menanyakan tentang itu.

"Brooklyn?" kataku dengan nada bertanya. Apakah aku bisa memanggil namanya atau tidak. Karena dari awal kami belum memperkenalkan diri dengan benar. Dia berhenti lalu menoleh.

"Apakah walk in closet itu punya istrimu? Ohh.. Maksudku kekasihmu?"

"Aku tidak percaya dengan hal-hal sejenis hubungan", jawabnya. Aku bingung. Tidak mungkin dia menyiapkan walk in closet wanita untuknya.

"Apa mungkin untuk jalangmu?" tanyaku sekali lagi dengan nada pelan karena ragu.

"Berhentilah, Chrisella Werner!!!" bentaknya. Aku terkejut. Dia masih tetap pada posisinya membelakangiku. Lalu dia pergi naik ke atas. 

"Jika bukan, lalu..." pertanyaan tentang walk in closet itu membuatku risih. Aku berpikir sejenak lalu menyeringai.

"Bukan urusanmu", lanjutku pada diriku sendiri.

***

"Huh.. Dia bahkan tinggal lantai teratas perusahaannya. Menyedihkan", umpatku.

Aku duduk dengan bathrobe yang sudah melekat menutupi tubuhku. Kupandang seluruh jajaran t-shirt, dress, gaun, tas, dan juga sepatu wanita disini. Dia menyiapkan ini semua untuk siapa? Jika dilihat-lihat dari penampilan Brooklyn, dia seperti berumur 23-25 tahun. Tidak mungkin dia sudah memiliki perusahaan besar seperti ini di umurnya yang segitu, pikirku dalam batin.

Lalu aku mengambil t-shirt putih polos dan hotpants dan memakainya. Setelah itu, aku keluar dari kamar menuju dapur karena aku lapar. Ternyata Brooklyn sedang membuat roti isian. Dia juga sudah memakai setelan jas biru.

"Kau akan bekerja?" tanyaku. Dia melirik sebentar lalu mengisi kembali rotinya.

"Hmmm", dia hanya berdehem. Aku mengangguk. Dia begitu dingin tapi juga kasar.Berbeda dengan Walton dan Nicholas. Arrgghhh.. Mengapa kau harus memikirkan dua brengsek itu lagi, Chrisss, kataku dalam batin.

"Ohh? Chriss, kau ingat persyaratan dariku 'kan?" tanyanya. Aku menelan ludahku lalu mengangguk.

"Kau harus membersihkan penthouseku ini", katanya sambil mengayunkan tangannya seakan menunjuk seluruh isi penthousenya. Kedua mataku membulat.

"Sebesar ini? Kau gila! Aku bahkan belum mengisi perutku", jawabku malas.

"Ohh, aku tidak sekejam itu Ms. Welner. Tentu kau harus mengisi perutmu itu", tukasnya sambil mengarahkan dagunya pada perutku. Aku memutar bola mataku.

"Apa kau tidak memiliki house keeper di penthouse sebesar ini?" tanyaku kesal.

"Aku sudah memecatnya."

"What? Why?"

"Because you are here now."

"Are you kidding me?"

"Hahah.. I'm not kidding", jawabnya dengan tertawa lalu menajam. Aku mengernyit. Dia kemudian pergi sambil membawa roti isiannya itu dan sekaleng susu.

Aku lalu memukul-mukul udara yang ada di belakangnya.

"Aku bisa merasakannya, Ms. Werner".

***

Dengan berat hati, aku membersihkan seluruh ruangan ini. Dimulai dari menyedot debu, membersihkan debu-debu yang ada di setiap pajangan, lalu melap setiap meja. Kau tahu, aku sudah berubah profesi menjadi seorang HOUSE KEEPER.

"BROOKLYN, KAU BRENGSEK", umpatku sambil berteriak saat menyedot debu.

Setelah ruangan itu bersih, aku kemudian naik ke atas. Tiba-tiba aku mematung ketika aku tersadar kalau ruangan yang akan kumasuki adalah kamar Brooklyn. Aku berpikir sejenak, berjalan mondar-mandir di depan kamarnya.

"Haruskah aku masuk?" tanyaku yang entah dengan siapa.

Dengan ragu-ragu, aku akhirnya masuk. Sekejap aroma ruangan ini benar-benar aroma tubuh Brooklyn. Segala sesuatunya benar-benar tertata. Mustahil pria sepertinya hidup sendiri di dalam penthousenya ini. Aku pun mulai membersihkan kamarnya.

Kunyalakan mesin penyedot debu. Entah mengapa aku jadi teringat dengan Walton. Sama seperti Brooklyn, Walton juga memiliki aroma tubuh bahkan ruangan sekali pun yang khas. Brooklyn dan Walton juga adalah pria yang bertanggung jawab. Entah mengapa aku jadi mengingat Walton. Aku mendengus.

Saat aku mulai melap meja yang ada di sebelah kasurnya, aku melihat sebuah foto keluarga yang kuyakini adalah keluarga Brooklyn. Pada bingkainya terpahat sebuah tulisan "Scoots Family". Aku tersenyum. Kemudian kedua mataku beralih pada foto Brooklyn bersama seorang wanita. Aku lalu mengangguk mengerti arti dari foto itu.

"Itu pasti kekasihnya", kataku sendirian.

Tiba-tiba kudengar seseorang melangkah menuju kamar ini. Aku panik dan celingak-celinguk mencari tempat persembunyian. Kemudian, aku melihat sebuah meja. Aku pun mengambil kain yang kujadikan lap bersamaku. Dengan cepat aku berlari menuju meja itu. Setelah kurasa aman, pintu pun terbuka. Kau tahu, aku hampir saja lupa bernapas.

Kemudian aku mencoba mengintip siapa yang datang. Ternyata benar Brooklyn. Dia melayangkan tubuhnya ke kasur lalu mendengus. Dia terlihat letih. Sejenak dia menatapi langit-langit kamar. Tapi tiba-tiba pandangannya beralih pada sesuatu yang membuatku panik setengan mati. Mesin Penyedot Debu sialan!!!

Aku menggigit bibirku cemas. Kemudian dia terlihat mencari-cari sesuatu. Entah mengapa, dia menyeringai. Aku mengernyit bingung melihat reaksinya.

Tiba-tiba dia berdiri lalu satu per satu pakaiannya di tanggalkan. Aku menelan ludahku saat dia membuka kancing kemejanya. Tubuhnya begitu kekar. Ototnya pun terbentuk indah. Aku menutup kedua mataku dengan tangan.

Lalu, kubuka kembali kedua mataku. Tapi aku tidak menemukannya lagi. Aku mengerutkan keningku bingung.

"Ke mana dia?" tanyaku pelan hampir mendesis. Seketika kurasakan tiupan angin tepat pada bagian leherku.

"Kau ingin melihatku dengan sempurna, Ms. Welner?" kata seseorang yang membuatku merinding.

Aku pun menoleh ke belakang. Ternyata seseorang itu adalah Brooklyn Scoots. Kedua bola mataku membulat. Spontan aku berteriak sekeras-kerasnya.

To be continue ...

-----------------------------------------------------------

Vote
Command
Follow

-----------------------------------------------------------

Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang