"Chriss, apa semuanya baik-baik saja?" tanya Darren sambil mencoba menyamakan jalan denganku.
"Apa maksudmu?" tanyaku balik kemudian berhenti.
"Kau pulang lebih dulu", katanya.
"Ada sedikit urusan, Darre", jawabku.
Mood-ku sedang kurang bagus hari ini karena pikiranku terfokus pada Walton. Kau tahu, Walton mungkin saja tadi mengatakan santai, tapi sebenarnya dia sudah memikirkan hal yang bukan-bukan. Aku ingin memperbaiki sifatku yang seperti seorang jalang ini. Memang aku tidak mencintainya sama sekali. Tapi aku sadar aku sudah menjadi istri orang lain. Aku akan lebih bersabar menunggu tiga tahun lagi.
"Besok akan ada pesta perpisahan kampus, Chriss. Kau tahu itu?" tanya Darren sambil menarik-narik rambutku dari belakang. Kini kami sudah berada dalam kelas.
"Apa? Pesta perpisahan?" balasku sambil mengerutkan keningku.
"Yaa.. Apa kau tak tahu itu?" tanyanya lagi.
"Tidak", jawabku.
"Ohh? Sebenarnya kata perpisahan itu dipakai orang-orang bodoh untuk membuat sebuah pesta. Yang pasti hanya untuk senang-senang", jelasnya.
"Aku tidak tertarik", kataku singkat kemudian berbalik.
"Ohh.. Come on, Chriss. Kau kenapa? Kemarin kau baik-baik saja. Apa kau sedang ada masalah?" ujarnya sambil menyentuh pundakku beberapa kali. Aku pun berbalik.
"Tidak. Aku hanya sedang tidak ingin berpesta", kataku kemudian berbalik lagi.
Aku tahu, pesta adalah jalan satu-satunya untuk menghilangkan rasa gelisahku ini. Tapi jika sudah berpesta, aku akan tergoda untuk meminum alkohol. Walton juga pasti tak ada di sana. Bagaimana mungkin aku pergi jika dia tak tahu? Astaga, Walton ternyata tak ada di sini sekarang. Rupanya sedari tadi tanpa kusadari mataku mencari-carinya di setiap sudut ruangan kelas. Aku hanya bisa mendengus memikirkan aku akan sendiri untuk beberapa hari di mansion.
"Morning", sapa si profesor menakutkan.
"Morning", jawab kami.
Seperti biasa dia membawa beberapa buku. Pasti dia akan memberikan kami tugas lagi. Entah mengapa dia selalu memberikan tugas di setiap dia masuk. Apa hidupnya tidak masalah jika harus memeriksa seluruh tugas kami? Kurasa dia hanya memeriksa judul, topik dan ketebalan halaman dari tugas yang dia beri. Hampir seluruh profesor di Penn melakukan hal seperti itu setiap memberikan tugas. Itu sudah menjadi hukum alam, kurasa.
"Tugas dua minggu yang lalu sudah saya lihat", katanya dari depan.
Apa aku katakan, dia hanya melihat bukan memeriksa, ujarku dalam batin.
"Ada tiga orang yang terlambat beberapa menit mengirimkannya", lanjutnya.
Aku menelan ludahku keras-keras. Seluruh ruangan sontak menegang. Jika sempat saja namaku ada pada daftar ketiga orang itu, maka nilaiku akan mengenaskan. Semua orang-orang diam dan mulai mendengarkan.
"Yang pertama, Mr. Hamilton, kedua Mr. West dan yang ketiga Mr. Othman", katanya.
Aku lega mendengarkan itu. Tapi aku sadar kalau nama yang disebut profesor barusan salah satunya Walton. Tidak biasanya Walton terlambat dalam mengirimkan tugas. Aku tahu, Walton bukan orang yang seperti itu. Tapi kali ini, dia berbeda.
"Kau kelihatan panik, Chriss. Sepertinya namamu tidak disebutkan", bisik Darren dari belakang.
Apa aku sepanik itu sampai-sampai terlihat olehnya? Aku pun mulai menarik napas untuk menstabilkan kepanikanku itu. Aku menggelengkan kepalaku tanpa menoleh ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomansaWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...