[ CHRISELLA POV ]
Aku membuka kedua mataku, terasa pusing. Samar-samar kulihat Walton yang berada di sampingku. Dia menggenggam erat tanganku. Wajahnya begitu cemas.
"Chriss, apa kau baik-baik saja?" tanyanya. Air mataku kembali terjatuh yang kurasa hanya sisa-sisa.
"Di mana ayah? Aku bermimpi dia meninggal Walton", kataku. Walton mengeratkan tangannya dan segera memelukku. Peristiwa yang kuyakini hanya mimpi membuatku teriris. Ternyata benar.
"Bagaimana aku akan hidup, Walton? Ayahku telah meninggal. Aku tidak mengerti penyebab dia meninggal", tanyaku padanya yang masih dalam dekapannya.
"Aku tahu Matt tidak tergantikan. Tapi aku berjanji akan melindungimu, Chriss", jawabnya dengan nada sedih.
Aku menangis kembali dalam pelukannya meski kutahu air mataku telah habis. Walton mengelus rambutku lembut. Selama kesedihan ini, hatiku terasa lebih damai ketika dia memelukku erat. Jika kalian bertanya, aku tak bisa memberikan alasan yang pasti. Bahkan kekasihku sendiri tidak datang saat aku terpuruk.
"Chriss, ohh.. syukurlah", ucap ibuku yang tiba-tiba masuk.
Seketika aku melepaskan dekapan Walton. Aku melihat wajah ibu sama cemasnya dengan Walton, pucat dan tidak berwarna. Aku masih ragu dengan kematian ayah. Ibu hanya mengatakan kalau ayah terkena serangan jantung saat bekerja dalam ruang kerjanya di mansion New York.
Dia memelukku erat.
"Ohh, Jesus. Hanya kau satu-satu yang kumiliki, Chriss", lanjutnya dengan menangis.
Alhasil, air mataku yang semula sudah mulai mereda kemudian kembali jatuh lagi. Hellyn selalu menyesal ketika dia tidak menemani ayah di saat-saat terakhir. Katanya dia tidur sementara ayah bekerja di ruangannya.
"Aku sudah menjadi bagian dari kalian", kata Walton dengan suara parau. Aku menatapnya sebentar, ada gurat keyakinan dalam tatapannya.
Hellyn melepaskan pelukannya. "Ohh? Maafkan aku, Walton. Aku melupakanmu. Hanya kau pelindung kami berdua sekarang", kata ibu dengan setengah menangis dan setengah tersenyum.
Aku mencelos, sepertinya kata-kata ibu tersirat banyak harapan pada Walton. Bisa saja Walton melindungi kami selama aku masih terikat dengannya, setelah itu? TIDAK. Aku yakin itu.
Kulihat Sarah dan Ludwig datang menghampiri kami. Keduanya tampak sedih dan menyesal. Ludwig menepuk pundak Walton dan tersenyum kesedihan. Tapi Sarah, dia memelukku dan menangis.
"Chriss, maafkan kami yang terlambat ini", ujarnya. Aku mengernyit.
"Tidak apa-apa ibu Sarah. Aku tahu jarak dari Sidney ke New York butuh berjam-jam lamanya. Kupikir, pesawatmu ngebut", kataku untuk mencairkan suasana. Dia tertawa paksa ditengah kesedihannya.
Air mataku sudah hampir habis. Enggan keluar hanya untuk melembapkan mataku kembali. Sarah menepuk pundakku pelan dan melepaskan pelukannya.
"Kau masih bisa bercanda, Chriss", balasnya sambil mengusap air matanya. Walton pun mengelus lembut rambutku.
"Kupikir kau hamil, Chriss", kata ibu tiba-tiba membuat kedua bola mataku membulat. Dia tersenyum. Aku melirik Walton, dia tampak menggaruk tengkuknya yang kuyakini tidak gatal.
"Ahh iya.. Kupikir juga begitu, karena pengaruh janin akhirnya kau lemah", bahkan Sarah membalasnya.
Apa mereka sungguh-sunggu menginginkanku mengandung anaknya Walton?
"Heheh", aku nyengir. Kami semua tertawa kecil ditengah-tengah mata yang membengkak.
***
Aku pulang setelah beberapa jam berada di rumah sakit. Walton memapahku. Sesekali aku menatap wajah tampannya meski kedua matanya memerah dan sembap, dia tetap rupawan. Tak banyak yang bisa kusebutkan karena Walton segera menatapku. Tatapanku berpaling.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomantizmWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...