Tok..tok..tok..
Aku terbangun karena mendengar suara ketukan pintu dari luar. Kulihat Walton yang masih terlelap di sebelahku. Jadi aku menggeserkan tubuhku sebentar namun Walton malah menahan perutku. Aku hanya bisa menghela napas bosan karena tingkahnya ini.
"Sebentar, aku harus membuka pintu, Walton", bisikku di telinganya.
Bukannya mengiyakan, Walton malah menikmati tidurnya. Kepalanya seakan dibuat pada posisi yang diinginkannya. Dia terlihat menggemaskan dan wajah tampannya semakin jelas kulihat. Lalu tanpa kusadari, tanganku sudah mengelus pipinya lembut. Sekarang aku jadi semakin terlena dengan keadaan ini.
Tok.. tok.. tok..
"Mr. / Ms. Walton. Sudah saatnya makan malam", kata seorang pramugari dari luar membuatku memecahkan lamunanku. "Thank you", ucapku agak sedikit keras karena sama sekali aku tidak bisa keluar membuka pintu. Kau tahu, Walton menahan tubuhku seperti aku ingin pergi jauh. Dia terlihat seperti seorang anak laki-laki yang berumur 5 tahun-an, yang takut ditinggal ibunya.
"Ohh, come on, Walton! Para pramugarimu sudah menyiapkan makan malam untuk kita. Aku tahu, kau mendengar itu semua", tukasku sambil mengelus lembut pipinya.
"Yah aku tahu. Aku tidak ingin keluar. Biarkan mereka membawa makanan itu ke kamar saja", ucap Walton dengan nada bermalas-malasan. Aku pun mendengus pelan.
"Kita bisa makan di luar. Aku tidak suka kamar ini berubah menjadi bau makanan", tolakku.
"Tapi kau harus berjanji. Senyumanmu hanya milikku", tukas Walton dengan nada tajam.
Aku hanya bisa menyeringai mendengar perkataannya.
"Jangan bercanda, Walton", ucapku.
"Sssstt.. Berjanjilah", balas Walton.
Lalu Walton bangkit berdiri dan membuka pintu. Aku mengikutinya dari belakang. Saat keluar, kedua koki dan tiga pramugari sudah berdiri menyambut kami. Aku mendengus pelan. Seharusnya mereka tidak perlu melakukan hal semacam itu. Kami bukanlah seorang presiden yang memimpin New York.
"Silahkan Mr. / Ms. Othman. Makanannya sudah kami siapkan", kata salah seorang pramugari itu.
Aku dan Walton pun duduk.
"Berapa lama lagi kita akan sampai?" tanya Walton.
"Sekitar 7 jam lagi, Mr. Othman", jawab salah seorang pramugari lainnya.
"Huh.." dengusku. Walton menatapku. Alih-alih menggubris tatapannya, aku malah mulai mengambil sendok makan dan garpuku. Menu malam ini adalah pasta. Kuharap ini pasta yang lezat, sama seperti pasta yang kumakan saat berada di hotel Brooklyn.
Kurasa malam ini akan sangat panjang. Walton sudah menyuruhku untuk istirahat tadi. Lalu bagaimana mungkin aku bisa beristirahat lagi untuk melewati malam ini?
***
"Kau tahu, aku tidak akan mungkin masuk ke dalam kamar lagi. Aku tidak bisa tidur, Walton", tolakku saat Walton mulai menyuruhku untuk beristirahat lagi.
"Well, kita di sini saja. Aku juga tidak bisa lagi memejamkan kedua mataku", ucap Walton. Aku menghela napas atas pengertian Walton.
"Bacalah beberapa majalah yang ada di situ, Chriss. Mungkin itu bisa membantu kebosananmu", sambung Walton sambil mengarahkan pandangannya pada beberapa majalah yang ada di atas pembatas kursiku dan kursinya.
"Vogue, Bazaar?"
Aku heran ketika melihat semua majalah yang ada di sini merupakan majalah yang memuat para supermodel. Lalu aku mengernyitkan keningku dan menyipitkan kedua mataku pada Walton. Awalnya dia sedikit terkejut pada reaksiku, namun akhir-akhirnya Walton menyeringai.
"Kau tahu, jika aku harus menyewakan pesawat ini pada perusahaan majalah itu, mengapa tidak? Itu bisa menambah pendapatan perusahaan", jelas Walton seakan mengerti sikapku.
"Bukan itu", balasku.
"Hmmm", Walton hanya berdehem sebentar lalu mendekatkan wajahnya ke depan wajahku.
Dia berlagak seperti sedang menerawangku sekarang. "Para wanita-wanita peraga itu?" tanya Walton. Sekejap di sekitar tenggorokanku mendadak mengering mendengarnya berkata seperti itu. Apa pria ini telah berubah menjadi Brooklyn? Kupikir hanya Brooklyn yang bisa menerawang pikiranku, ternyata suamiku juga bisa, tukasku dalam batin.
"Mereka adalah peraga fashion brand ternama, Walton. Lebih dari sekadar peraga fashion biasa", jawabku.
"Ya ya ya. Tapi jika alasanmu bersikap seperti tadi adalah mereka, kau salah. Kedua mataku dan semua inderaku hanya milikmu", tukas Walton sambil menarik tanganku kemudian menciumnya.
"Who knows."
Dia berhenti pada saat mendaratkan bibirnya di punggung tanganku. Kemudian kedua matanya menatapku. Entah mengapa aku seperti tidak setuju dengannya sekarang. Aku takut, jika selama aku meninggalkannya, ada wanita yang mengisi kekosongannya.
"Apa maksudmu?" tanya Walton. Aku pun menarik tanganku lalu melihat lurus ke depan seakan tak ingin melihat wajahnya. Sungguh, aku benar-benar takut jika wanita itu ada. Aku takut, aku akan terluka setelah rasa cintaku sudah mulai berkembang padanya.
"Apa kau sudah menemukan penggantiku selama aku pergi?" tanyaku dengan ragu-ragu masih tanpa melihat ke arahnya.
"Pengganti?" tanyanya balik. Lantas aku menatapnya. Dia telihat bingung.
"Ya", ucapku singkat. Kemudian dia menyeringai.
"Aku akan mengenalkannya padamu secepatnya", jawab Walton. Seketika tubuhku lemas, jantungku berdegup kencang dan kedua bola mataku membulat. Aku hanya bisa mematung dan tak mampu berkata-kata. Rasanya air mataku akan segera jatuh. Jadi aku pergi ke dalam kamar meninggalkannya. Anehnya, Walton tak mengejarku.
***
Tok.. tok.. tok..
Aku terbangun dari tidurku karena mendengar suara ketukan dari luar. Tapi saat aku mulai membuka kedua mataku, kedua mataku tiba-tiba sangat kaku. Kepalaku juga pusing.
"Ya?!" ucapku sambil bergeser ke tepi kasur agar aku bisa bangkit dan membuka pintu.
"Apa kau baru bangun?" tanya Walton dari luar. Lalu aku membuka pintu.
Di sana sudah terlihat Walton yang tampan dan rapi. Dia juga sangat wangi. Secara tidak langsung aku tersenyum melihatnya di pagi ini. Namun sedetik kemudian, senyuman itu terlepas dari wajahku. Pikiranku langsung tertuju pada wanita itu. Wanita yang membuatku nangis semalaman dan yang membuat Walton tiba-tiba cuek semalam.
"Matamu bengkak dan ada ga..", kata-katanya kupotong karena aku hendak menutup pintu. Namun dia menahannya.
"What's wrong with you?" teriaknya.
Karena kau memiliki wanita lain, Walton, tukasku dalam batin.
"Hey.. Biarkan aku masuk, kumohon", pintanya dari balik pintu.
Aku tahu, sebenarnya dia bisa saja menerobos masuk tanpa menahan pintu ini karena dia memiliki kekuatan yang melebihiku. Tapi dia malah menahan pintu yang hendak kututup ini. Aku hanya tidak ingin melihat wajahnya. Mungkin setelah ini adalah waktu terakhirku bersamanya. Karena Walton sudah menemuka wanita yang sudah menggantikan posisiku. Dia berhak mendapatkan itu tapi aku hanya tidak siap untuk menerima itu semua. Karena pada hakekatnya, aku telah mencintainya dan sekarang aku hanya bisa menangis dalam diam tanpa melihatnya. Aku masih menahannya.
"Kumohon. Beri aku waktu 30 menit", pintaku. Kemudian pintu pun tertutup.
To be continue ..
---------------------------------------------------------
---Vote
Command
Follow---
---------------------------------------------------------Hola guyss, jangan lupa kasih aku vote yaaaaaa. Thank you ❤
instagram : lestari_tharulys
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomanceWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...