~ chapter 43 : Misa (1)

4K 80 3
                                    

Pagi ini, aku berjalalan sambil mencari tempat terdekat yang menjual bahan-bahan dapur. Awalnya Brooklyn menyarankanku untuk diantar oleh orang suruhannya karena jujur saja. Aku belum akrab dengan suasana ibukota Italia ini. Tapi memang, suasananya seakan mengisyaratkan untuk tidak terlalu berhati-hati. Karena Roma sangatlah nyaman dan aman. Itulah makanya aku memberanikan diri untuk pergi sendirian. 

Saat pergi bersama Brooklyn kemarin, aku melihat gedung-gedung yang berdiri di sini begitu berseni klasik. Tak banyak pula para biarawati yang berlalu lalang membawa beberapa lilin di dalam sebuah menorah yang berbentuk pohon. Sepertinya akan ada misa di salah satu gereja. Rasanya sudah sangat lama aku tidak mengikuti misa. Kurasa kira-kira 4  bulan yang lalu, saat menjelang ulang tahunku. Ayah menyuruhku agar pergi bersama ke misa karena di usiaku yang 19 tahun ini adalah usia yang akan mendekati angka 20. Mungkin angka 20 adalah angka yang cukup melelahkan untuk memikirkan segala prospek hidup ke depannya. Tapi yang pasti, itu hanya alasan ayah saja. Mungkin dia tahu, aku orang yang pemalas dan tidak terlalu taat. 

Aku pun menghampiri salah seorang biarawati itu. "Permisi.. Akan ada misa di gereja ini?" tanyaku. Dia tampak bingung. Aku mengernyit karena baru menyadari kalau sekarang aku berada di Italia. Bahasa yang dipakai juga bukan bahasa Inggris. Aku menyesal karena dulu tak mendengarkan nasehat ayah yang menganjurkanku untuk belajar 7 bahasa dan diantaranya bahasa Italia. Aku mencelos. 

Tapi tiba-tiba salah seorang biarawati yang lainnya menghampiri kami. Dia tersenyum karena melihatku bingung. "Maaf, Nona. Dia seorang tuna rungu sekaligus tuna wicara", kata biarawati itu membuatku terkejut. Aku pun meminta maaf pada biarawati yang tuna rungu dan tuna wicara itu. Sungguh, aku tidak tahu soal itu. Jadi aku mendekatkan tangan kanan-kiriku untuk meminta maaf. Biarawati itu tersenyum.

Biarawati yang satunya lagi menyentuh tangan kananku. "Perkenalkan namaku Natalie dan dia Zoya. Kami adalah biarawati di gereja ini", katanya sambil tersenyum ramah. Aku pun membalasnya dengan tersenyum. "Aku Chrisella Werner. Aku sungguh beruntung bisa mengenal kalian. Kau juga bisa berbahasa yang sama denganku", jawabku dengan semangat. Meskipun biarawati Natalie memiliki aksen British, tapi itu tidak menjadi masalah. "Tentu", balasnya. "Ikutlah bersama kami."

Kami berjalan beriringan menuju pelataran depan gereja. Saat masuk ke dalam gerbang hatiku terasa menjadi baru. Aku senang bisa berada di sini sekarang. Ada banyak biarawati yang terlihat sibuk. Aku juga melihat beberapa pastor berjalan di sana. Sungguh, tempat ini membuatku nyaman. Sejak aku menikah dengan Walton, aku sangat jarang untuk pergi ke gereja setiap minggunya. Tapi entah mengapa aku merasa ada yang berbeda dengan diriku. 

"Jadi, kau hendak bertanya apa pada suster Zoya tadi?"tanya biarawati yang bernama Natalie itu. Sekarang kami duduk di sebuah bangku yang terletak di samping gereja. 

"Apakah di gereja ini akan mengadakan misa atau semacamnya?" tanyaku balik. Dia tersenyum.

"Ya, benar. Sekitar pukul 04.00 p.m. ini akan ada misa di sini setiap kamisnya."

"Jadi apa aku bisa datang?"

"Hahaha.. Tentu. Kau bisa datang."

"Aku sangat senang sekali."

"Kamu sepertinya bukan penduduk Roma. Terdengar dari aksen bicaramu, kau seperti berasal dari Amerika?"

"Ya. Aku berasal dari Philladelphia lebih tepatnya. Aku seorang mahasiswi tapi..." kata-kataku terpotong karena ragu untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Katakanlah", ucap Natalie. 

"Aku sudah memiliki seorang suami", sambungku lalu menunduk. 

"Apa kau memiliki masalah dengan suamimu?" tanyanya sambil memegang bahuku. Aku menggeleng mengiyakan kata-katanya. 

Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang