~ chapter 34 : Meet

2.1K 63 1
                                    

Aku melihat-lihat apa-apa saja yang seharusnya kubeli untuk persediaan di dalam lemari es. Wortel, tomat, sayur, beef, tepung, dan yang lainnya satu per satu kumasukkan ke dalam troli. Hari ini aku berbelanja banyak sekali. Karena hari ini adalah weekend. Jadi kuputuskan untuk membeli persediaan bahan-bahan makanan untuk seminggu ke depan.

Setelah semuanya kukira sempurna, aku mendorong troliku ke tempat pengantrian pembayaran. Antrian ini cukup panjang membuatku mengernyit. Haruskah aku menunggu selama itu? Menunggu adalah pekerjaan yang membutuhkan banyak kesabaran. Tak peduli, kau berada di posisi mana pun. Karena semua orang pernah mengalaminya.

Hari ini adalah weekend. Benar saja. Banyak orang yang berlalu lalang melihat beberapa barang, buah-buahan bahkan hanya sekadar lewat begitu saja. Tapi kedua mataku tiba-tiba saja terpatri pada sepasang kekasih yang sedang berbelanja. Bukan, mungkin mereka adalah sepasang suami istri. Tapi kenapa mereka terlihat begitu muda? Berarti bukan hanya aku yang menikah di usia muda seperti ini.

"Good afternoon, Mrs", sapa seorang wanita yang menjadi kasir. Segera kutampar wajahku agar kembali ke dunia nyata. Aku membalasnya dengan senyuman. Lalu letakkan seluruh belanjaanku ke mesin penghitung.

Setelah semuanya dibungkus, aku mengeluarkan kartu debit Brooklyn dari dalam dompetku. Ya, hari ini aku memintanya untuk membayar semua ini. Jika menggunakan debitku, maka aku akan terlacak berada di mana sekarang.

Lagi pula, belanjaan ini semua adalah keperluanku dan dia. Aku tidak mungkin membiarkan lemari pendingin kami kosong begitu saja. Jika berada di posisi Brooks, aku bisa saja makan di luar sepuasnya. Tapi hal itu tak mungkin mengingat posisiku sekarang bagaimana. Aku hanya bisa mendengus.

Lalu aku berjalan menuju penthouse sambil menenteng kantong plastik yang berisi keperluan dapurku. Meskipun tangan kananku diperban karena kebodohanku menggenggam pecahan beling, tapi aku tidak ingin terlihat lemah di depan Brooks. Dia berulang kali mengatakan agar kami pergi bersama, tapi kutolak.

Kali ini aku tak menggunakan taksi atau mobil. Karena kurasa aku tak perlu membuang-buang duit Brooks. Jarak penthousenya dengan pusat perbelanjaan cukup dekat. Jadi aku hanya bisa berjalan sekitar 50 meter. Maka akan sampai.

"Chriss", kata seseorang dari belakangku. Aku diam, mematung, dan tak bisa berkata-kata. Jika aku menoleh, maka hatiku akan hancur begitu saja. Aku malu padanya karena telah mengkhianatinya. Memilih pria yang jelas-jelas membuat hidupku hancur.

"Chriss, aku sangat merindukanmu."

Kedua air mataku hampir saja terjatuh, tapi aku harus bertahan. Kakiku bergetar, kedua lututku pun melemas. Kurasa aku tak bisa bertahan lebih lama lagi. Jadi aku menoleh dan kini berada di hadapannya. Hatiku mencelos ketika wajah Nicholas Hobbs bisa kulihat lagi. Seketika aku memeluknya begitu erat. Air mataku pun jatuh.

"Maafkan aku sudah memilih pria brengsek itu", ucapku tersedu-sedu. Aku semakin memeluknya erat. Begitu juga dengannya.

"Kau tak perlu meminta maaf, Chriss. Pria itu juga tak pantas denganmu. Kau tahu itu", ujarnya.

Entah mengapa, air mataku semakin deras. Rasanya sesak sekali mengingat betapa bodohnya aku dan keluargaku terlena akan hal jahat yang dilakukan keluarga Othman pada kami. Mereka begitu jahat, tega membuatku dan keluargaku merasakan duka yang begitu berbekas. Rasanya seperti ditancap tombak yang tajam.

"Tenanglah, kau bersamaku", ujarnya sambil menepuk pundakku pelan.

***

Sekarang aku duduk di sebuah kafe di sebelah gedung tempat Brooks bekerja dan juga tempatnya tinggal bersamaku. Nicholas datang membawa dua cup vanilla latte dari meja kasir dan meletakkannya di depan meja tempatku duduk.

Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang