Bab 5

1K 133 23
                                    


Malam itu, gapura timur Hanimpura yang biasanya sepi menjadi sedikit hidup akan hadirnya beberapa manusia. Obor-obor sebagai penerang di sekitarnya tampak mencolok di tengah gelapnya hutan jati yang menguasai gapura timur.
Di antara manusia-manusia yang merupakan perkumpulan prajurit itu terlihat seorang laki-laki dengan piranti emas layaknya yang dimiliki seorang pemimpin. Di atas rikmanya yang digelung cacandyan terpasang mahkota kecil. Lengan kekarnya dihias kelat bahu. Emas permata mengalung di leher, juga tersemat cincin pada jemarinya. Perawakannya yang tinggi menambah kegagahan si laki-laki. Sutra yang dipakai sebagai busana menunjukkan betapa tinggi kedudukannya. Untuk seorang akuwu pun, ia tergolong masih muda.
[Cacandyan: gelung mengerucut di ubun-ubun pada laki-laki]

Raka Gangsar kala itu sedang mengawasi prajurit-prajurit pilihannya menyiapkan kereta kuda yang akan dipakai samya haji Aditya. Tentu saja ia juga perlu memastikan prajurit khususnya telah melakukan tugas dengan baik. Para prajurit itu pun memang pilihan dan terdiri dari lima belas orang. Ke semuanya adalah mereka yang dilatih dengan sungguh-sungguh dan tiada tandingan. Demikian keterangan yang diberikan Raka Gangsar sehingga Aditya menyetujuinya.

Di tengah sibuknya persiapan yang dilakukan, tampaklah seorang perempuan muda mendekat. Kemban dan jarit yang dipakai serba berwarna merah. Tidak seperti perempuan umumnya yang menggelung rambut, ia membiarkan miliknya yang berhias konde tergerai. Meski demikian, memanglah indah ia di pandangan laki-laki. Lebih-lebih dengan tubuhnya yang sintal, tatapannya yang mengundang, juga senyuman di bibir merah hatinya yang menggoda.

"Bagaimana persiapannya Gangsar?" tanyanya dengan suara lembut yang dibuat-buat. Ia beramah tamah kepada Raka Gangsar tanpa mengindahkan bahwa seharusnya menaruh hormat. Bahkan, gelar kehormatan "Raka" kepada sang akuwu tiada disebutkan. Memanglah lancang sikap perempuan muda yang kini malah menggelayut manja pada lengan sang akuwu muda, tetapi pada kenyataannya selama ini Raka Gangsar membiarkan saja.

"Bekerjalah lebih cepat! Sebentar lagi samya haji akan tiba!"
Demikian perintah Raka Gangsar kepada para prajuritnya sehingga mengabaikan sepenuhnya perihal si perempuan muda tadi.

Namun demikian, si perempuan muda itu sama sekali tidak keberatan atas sikap sang akuwu muda. Alih-alih merasa kesal, ia malah bermain mata dengan salah satu prajurit penjaga.

"Jaga sikapmu nanti di depan samya haji." Raka Gangsar akhirnya menegur.

"Apa maksudmu? Tentu saja aku akan menjaga sikapku. Lagi pula, siapa yang akan tertarik pada si tua bangka itu?"
Rara Geni mendengkus kesal sementara Raka Gangsar meloloskan lengannya dari si perempuan karena rombongan samya haji telah tiba. Ia menyusul rombongan yang baru saja melewati gapura timur tersebut dan jelaslah hanya segelintir orang yang turut serta, termasuk Patih Sanjala.

"Rahayu, Gusti. Rahayu, Ibu Permaisuri," sapa Raka Gangsar sembari menjura diikuti prajurit lainnya. Rara Geni sendiri tampak ogah-ogahan karena merasa tidak perlu melakukannya.

"Keponakanku, Gangsar, bagaimana dengan persiapannya?" tanya Aditya.

"Kereta untuk Ibu Permaisuri telah siap. Dan hamba sudah memilih kuda terbaik untuk Gusti apabila telah bosan duduk dalam kereta." Raka Gangsar menjelaskan.

Aditya tersenyum puas. Ia pun menyempatkan diri untuk memeriksa sejenak kereta kencana dan kuda-kuda yang disiapkan sang keponakan.

"Aku bangga kepadamu, Gangsar," pujinya kemudian.

"Gusti terlalu memuji. Hamba hanya ingin yang terbaik untuk Gusti berdua." Raka Gangsar menanggapi.

"Kau dengar itu, Sanjala? Dia selalu merendah. Itulah mengapa aku sangat menyukainya."

Aditya tertawa-tawa setelahnya. Tangannya menepuk-nepuk bangga pada bahu Raka Gangsar yang menerima saja.

"Nah, marilah Rayi. Naiklah lebih dulu," pinta Aditya kepada Ratih.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang