Bab 75

353 73 0
                                    

-
-
Suara perempuan yang sedang bergumam lirih menjadi tujuan Bayanaka. Diiringi dua orang prajurit, pemuda itu segera menghampiri perempuan yang tiba-tiba saja harus diakunya menjadi ibu. Berjarak tiga langkah, ia berhenti, menjura sembari mengaturkan salam. Si perempuan yang adalah sang Prameswari menoleh, tersenyum. Ia menghentikan gumaman tembangnya lalu memberikan nampan berisi bunga-bungaan untuk pemujaan kepada salah seorang dayang.

"Kemarilah, Bayanaka," ucap sang Prameswari sembari menyambut dengan wajah lembutnya.

Bayanaka mendekat, sementara dua prajuritnya mengikuti langkah mereka sejenak sebelum berhenti total di sisi sebuah bale kecil dengan enam tiang penyangga.

Ketika sang Prameswari mengambil tempat di pinggiran bale, Bayanaka menurut di sampingnya.

"Apakah kegiatan belajarmu sudah selesai?" tanya sang Prameswari, Ratih Padmawati.

"Sudah, Ibunda. Baru saja Ki Antana mengajarkan kepada saya mengenai obat-obatan yang disediakan alam," jawab Bayanaka.

Ratih Padmawati tersenyum. Ia belai sejenak kepala sang putra yang beberapa warsa lalu datang bersama sang suami. Perempuan itu bukannya tidak senang. Tentu saja ia senang karena suaminya memberikannya seorang putra. Akan tetapi, latar belakang diambilnya anak itu adalah hal yang tidak baik. Ratih tahu betul. Keputusan Aditya mengambil Bayanaka kala itu hanyalah karena kekecewaannya terhadap Danendra. Tindakan itu sekaligus menyindir sang adhi dan orang-orang yang kiranya ia anggap membela Raka Gangsar.

Benar. Sang suami seolah tidak terima atas keputusannya sendiri memaafkan Raka Gangsar. Ratih sendiri tahu, suaminya itu, jika memungkinkan, lebih memilih mengorbankan Raka Gangsar ketimbang Danendra. Tentu saja, ikatan saudara lebih diutamakan daripada ikatan antara yang tidak sedarah. Terlebih, Aditya tahu asal-usul lahirnya Raka Gangsar. Terhina dan kecewa. Itulah yang ditangkap sang Prameswari terhadap suaminya. Maka, tanpa pikir panjang, Aditya tiba-tiba saja membawa seorang bocah sekembalinya ia dari perjalanan blusukan.

Hal itu tentu saja membuat Hanimpura geger. Akan tetapi, kiranya tidak ada yang bisa membantah kehendak seorang Paduka Bhatara yang masih berhubungan saudara dengan Raja. Melalui perbincangan alot, akhirnya para petinggi Hanimpura menyerah. Mereka hanya bisa menunggu hasil dari sang Raja Malwapati.

Sedang Aditya, kala itu membeberkan asal muasal si bocah yang ditemukannya ketika sedang sidak pasar bersama Sanjaya.

"Dia hanya korban dari perang yang menyebabkan kehancuran sebuah kerajaan kecil, Adinda. Kau masih ingat tentang Getih Abang, bukan? Perang yang hanya didasari prasangka itu akhirnya menelan banyak korban," tutur Aditya di suatu malam ketika Ratih meminta penjelasan.

Ratih Padmawati mendesah. Tentu ia masih ingat tentang tragedi itu. Sebuah kejadian mengerikan yang berawal dari kabar burung mengenai pemberontakan. Sebuah kerajaan kecil, pecahan kerajaan Jenggala dahulu kala, menjadi sasarannya. Akan tetapi, siapa nyana, tragedi itu merembet sampai ke segala padepokan yang hanya dikira mencetak pendekar-pendekar bayaran untuk memberontak. Perang terjadi. Tiada yang bisa dipercaya. Lawan maupun kawan tampak sama saja. Hal itu secara langsung mempengaruhi keamanan kerajaan-kerajaan sekitar, termasuk wilayah kekuasaan Malwapati.

Beberapa kerajaan bawahan Malwapati bahkan turut membebaskan diri. Ada yang berhasil, ada pula yang malah hancur. Hingga saat itu, Haningan dan beberapa kerajaan yang masih setia di bawah kekuasaan Malwapati ikut merasakan dahsyatnya tragedi Getih Abang.

Akan tetapi, hingga kini pun, Ratih Padmawati tidak mengerti duduk perkara tragedi tersebut. Yang ia dengar, hal itu terjadi lantaran ada orang-orang tidak bisa memilah kabar dengan benar hingga timbul rasa saling curiga.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang