Bab 10

794 97 4
                                    

Bhayanaka baru saja menyelesaikan lontar berisi pesan yang ditujukan kepada gurunya di Galung Asri. Ia mengikatnya dengan rotan lalu diberikan kepada seorang rare.

"Berikan ini kepada Rsi Bimaka atau Rsi Gesang. Dan tunggulah di sana sampai beliau memberikan balasannya," titahnya yang segera dipatuhi si rare.

Sepeninggal pelayan khususnya itu, Bhayanaka beranjak dari tempatnya dan keluar dari bilik. Jatmika segera menunduk hormat manakala junjungannya terlihat. Ia pun mengikuti sang gusti muda.

"Jadi, Anggara telah kembali bertugas? Ah, cepat sekali!" keluh Bhayanaka usai mendapati kabar bahwa sang kawan tidak lagi berada di Haningan.

"Benar, Gusti. Menurut abdi dalem kepatihan, Senapati Anggara bertolak ke Kuningan." Jatmika menanggapi.

Bhayanaka mendecak lirih. Padahal ia masih ingin bertukar pikiran dengan sang kawan. Sejurus kemudian, juru hulun muncul dari arah berlawanan.

"Ampun, Gusti. Senapati Yodya telah menunggu di lapangan untuk berlatih," ujar juru hulun.

"Ya, aku pun akan menuju ke sana." Bhayanaka membalas.

Para prajurit dan senapati telah memulai kegiatan masing-masing setibanya ia di sasana berupa lapangan luas. Jatmika menunggu di penjagaannya sementara sang gusti muda memulai pelatihan.

Kegiatan itu biasanya berlangsung hingga sore menjelang. Disusul berikutnya adalah pendadaran ilmu tata negara, tetapi urutannya pun tidak saklek. Beberapa kegiatan bisa ditunda apabila sang junjungan menghendaki jeda waktu.

Namun hari itu, kegiatan berlatih Bhayanaka terganggu manakala tiba-tiba Jatmika menghampirinya yang sedang berlatih memanah.

"Gusti!"

Bhayanaka hanya melirik singkat sementara tangannya tetap merenggangkan panah yang siap dilesatkan ke sasaran. Pikir sang gusti, pengawalnya itu akan segera mengaturkan apa yang ingin disampaikan. Tetapi, bahkan setelah panah menancap tepat sasaran, Jatmika enggan bersuara lagi.

Yang demikian membuat Bhayanaka heran sehingga mengalihkan pusat perhatian dari latihan kepada pengawalnya tersebut.

"Ada apa? Mengapa menyusulku?" tanyanya.

"Ampun, Gusti. Saya mendapatkan pesan dari Ki Hulun," jawab Jatmika dengan gelagat tidak biasa.

Sang gusti muda menolehkan pandangan ke pinggir sasana dan di sana terlihat juru hulun menunggu dengan wajah tidak biasa pula. Yang demikian tentulah mengundang penasaran akan apa yang terjadi.

"Ada apa, Jatmika?" tanyanya tidak sabar.

"Ampun, Gusti. Ini mengenai samya haji," ujar Jatmika dengan nada ragu.

"Ayahanda sudah kembali?" Sedikit lega benak Bhayanaka semasa Jatmika menyebut sang ayahanda. Namun kemudian, ia melihat Sanjala berdiri di samping juru hulun. Juga, raut wajah sang patih menyiratkan sesuatu yang tidak biasa. Diburu penasaran tinggi, Bhayanaka menyerahkan busur kepada salah seorang prajurit lantas tergesa-gesa menghampiri Sanjala.

"Rama Patih, apakah ayahanda telah kembali?" tanyanya segera setelah berhadapan dengan Sanjala.

Namun demikian, Sanjala tidak segera menjawab. Sikapnya ragu-ragu seperti Jatmika. Sementara juru hulun menunduk dalam.

"Ampun, Gusti, ada hal buruk menimpa rombongan samya haji."

Pernyataan sang patih seperti gada yang menghantam dada Bhayanaka. Berbagai pikiran segera berhamburan. Manakala tidak ada yang disampaikan sang patih, pemuda itu bergegas menuju peraduan sang ayahanda.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang