Pratali

600 93 9
                                    


Sang Prabu sedang dilanda asmara.

Itulah yang bisa disimpulkan oleh Bhargawala muda ketika uwanya menerangkan segala hal tentang si perempuan dari bangsa manusia. Bhargawala sendiri sebenarnya tidak mengerti, mengapa sang uwa memilih manusia. Sepengetahuannya, uwanya itu bukanlah siluman yang memiliki welas asih terhadap makhluk lain, terlebih bangsa manusia yang dianggap lemah dan bodoh oleh kebanyakan bangsanya. Akan tetapi, hari ini pandangannya menjadi berbeda. Entah karena kata-kata sang uwa yang begitu menarik atau memang manusia mempunyai kemampuan yang mampu mengubah sesuatu menjadi hal yang tidak terduga. Bhargawala muda juga menjadi penasaran.

"Manusia mempunyai kekuatan hebat, Bhargawala," kata sang prabu suatu ketika.

"Kekuatan hebat apakah itu, Uwa?"

Menoleh sebentar sang prabu kepada Bhargawala. Dia tahu bahwa hanya keponakannya itulah yang bisa diajak bicara, bahkan mengenai makhluk yang dipandang sebelah mata oleh bangsanya.

"Sebuah kekuatan yang bisa meluluhlantakkan gunung tertinggi, memporak-porandakan bumi, memecah belah lautan," jawabnya.

"Jika manusia sehebat itu, mengapa mereka tidak menjadi dewa? Mengapa bangsa kita malah menyebutnya lemah?"

Tertawa sang prabu mendengar sanggahan dari Bhargawala muda.
"Tidak-tidak! Perkataanku tadi jangan diambil pikiran. Uwa hanya bercanda!" Kembali sang prabu meneruskan tawa sedang Bhargawala diam saja, tidak menanggapi.

Lelah terbahak-bahak, sang prabu meneruskan kata-katanya.
"Memang tidak ada lagi manusia sekuat itu, tetapi mereka memang mempunyai kekuatan yang mampu mengubah sesuatu. Ibarat tetesan air yang seakan-akan tidak mempunyai daya, tetapi sanggup membuat lubang di batu keras sekalipun. Seperti itulah kekuatan yang Uwa maksud."

Melihat sang keponakan masih menyimak saja, Prabu Kauki pun melanjutkan,
"Mereka tidak menyerang dengan tenaga, karena kekuatan yang mereka miliki bukan untuk itu. Mereka menggunakannya untuk merangkul lawan agar bisa menjadi kawan. Mungkin kau belum bisa memahami, Uwa sendiri baru menyadari ketika mengenal Indira."

Indira.

Sebuah nama yang sering disebut Prabu Kauki, yang diyakini Bhargawala sebagai perempuan dari manusia itu. Terkadang dia merasa sangat penasaran, seperti apa sebenarnya Indira yang mampu mengubah uwanya menjadi sedemikian rupa.

"Apakah sesungguhnya kekuatan itu, Uwa? Bisakah itu dikalahkan dengan ajian tertentu?" tanyanya lagi.

Tertawa lagi sang prabu mendengar pertanyaan polos keponakannya.
"Tidak, Bhargawala! Kekuatan itu tidak untuk dilawan. Karena seperti yang aku katakan tadi, manusia tidak menggunakannya untuk menyerang."

Sang Prabu sedikit menggeser kedudukannya hingga menghadap Bhargawala muda, dijulurkan tangan kanannya ke dada sang keponakan yang dibalut sandangan dari kulit lembu kemudian diketuknya beberapa kali.
"Kekuatan itu ada di sini. Manusia menyebutnya ketulusan," lanjutnya.

Melihat mimik wajah sang keponakan yang semakin bingung, Prabu Kauki tertawa kecil saja. Kemudian dialihkan jua pembicaraan mereka.

"Bagaimana denganmu sendiri, Bhargawala? Sudahkah kau menemukan pratalimu?"

"Belum, Uwa."

Sang Prabu bergeming. Diamatinya saja Bhargawala muda yang memandang ke depan, menatap hamparan rerumputan yang sebagian mengering. Deretan pegunungan gagah berdiri ditemani aliran sungai bening panjang yang beriak kecil.

Sang Prabu agaknya kebingungan perihal ikatan sakral yang dianugerahkan kepada keponakannya tersebut.

Ketika Bhargawala masih berada di dalam cangkang, tanda ikatan itu telah tampak jelas. Akan tetapi, sampai sekarang sang pratali tidak muncul. Bhargawala sendiri mengaku tidak bisa merasakan pengikatnya tersebut. Seolah-olah 'pasangan' sang keponakan bersembunyi.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang