Sawijining Dina

587 85 53
                                    

.
.

Derap kuda yang mengentak menciptakan gemuruh, tanah-tanah bergetar walau dalam jarak yang tidak jauh. Kerikil berloncatan, bersamaan dengan naiknya debu ke atas ketika kaki-kaki kokoh hewan tangguh itu menginjak tanah. Sesekali terdengar suara para manusia yang menungganginya; memberi aba-aba. Sekalipun para penunggang itu tidak melajukan kuda-kuda mereka dengan kecepatan tinggi, tetapi sulit untuk mengejar jika hanya dengan berlari.

Mereka terus memacu melewati hutan-hutan di sekitar Gunung Lawu. Hingga salah satu dari mereka, yang berada di depan untuk memimpin, tiba-tiba melambatkan laju kuda tunggangannya sebelum berhenti total. Sedang kawan yang mengikuti akhirnya turut berhenti.

"Ada apa, Raden Mas?"

Yang dipanggil Raden Mas bergeming. Lelaki itu memandang jalan yang baru saja dilewatinya, sedang si kuda bergerak-gerak karena sang penunggang masih belum memberi aba-aba.

"Raden Mas?"

"Aku melihat sesuatu di sana tadi, Patria."

Kawan perjalanan Raden Mas yang bernama Patria itu mengikuti arah pandang yang masih diamati junjungannya tersebut. Jalan setapak yang dipenuhi rumput itu sepi. Hanya suara-suara hewan dan angin yang menyapa dedaunan terdengar.

"Apakah Raden Mas melihat gogor?" tanya Patria.

"Tidak. Bukan. Yang kulihat bukan hewan, tapi manusia," jawab Raden Mas yang hanya sekali melirik Patria.

"Oh, kalau begitu mungkin hanya penggembala atau pencari rumput."

Raden Mas menghela napas sejenak.
"Aku rasa juga bukan," katanya kemudian.

Jawaban sang junjungan membuat Patria menautkan alisnya.
"Mungkin pendekar, Raden Mas Danendra. Atau, pendeta yang tengah mengasingkan diri."

Raden Mas bernama Danendra itu menggeleng.
"Bukan. Bukan semuanya. Mana mungkin ada penggembala, pencari rumput, atau pendeta yang bersanggul dan memakai selendang."

Patria menelaah keterangan junjungannya. Setelahnya, ia kembali menyuarakan kesimpulan.
"Mungkinkah pendekar wanita?"

"Aku tidak yakin, Patria."

"Kalau begitu, sebaiknya kita segera melanjutkan perjalanan, Raden. Mumpung hari masih terang dan tidak ada aral melintang."

Raden Mas Danendra bergeming. Pikirannya masih menggelayut di belakang sana.
"Kalau yang kulihat tadi bukan pendekar, apakah mungkin seorang perempuan akan ada di hutan seperti ini, Patria?"

Lagi-lagi, Patria dibuat berpikir. Lelaki itu melihat sekeliling. Matahari masih dalam masa terik-teriknya. Sedang hutan lebat yang mereka pilih sebagai jalan pulang begitu gelap di dalam sana. Bukan tidak mungkin akan ada satu dua penyamun yang memanfaatkan peluang. Andai bisa mereka atasi, itu akan membuang waktu. Sementara mereka harus segera kembali ke Haningan.

"Kenapa kau tidak menjawab?"

Pertanyaan Raden Mas Danendra membuat Patria sedikit terkejut. Lelaki itu menunduk walau sang junjungan tidak melihat.

"Ampun, Raden Mas. Hamba rasa, mungkin itu hanyalah hayalan semata. Hutan ini begitu lebat dan liar, tidak mungkin ada perempuan yang berani berkeliaran. Bahkan penduduk pun tidak akan berkenan melewati hutan ini tanpa ada kawan."

Raden Mas Danendra menghela napas. Tampaknya dia menyetujui pendapat Patria, tetapi dia merasa tidak puas. Dia yakin yang dilihatnya tadi adalah sosok perempuan.

"Marilah, Raden, segera kita lanjutkan perjalanan," bujuk Patria.

"Apakah kau keberatan jika kuajak memastikan sesuatu itu barang sejenak?"

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang