.
.Tubuh singset dayang itu berjengit. Gelungan di rambutnya sedikit melonggar hingga menyebabkan beberapa anak rambut keluar. Adapun tangisan yang menyebabkan keadaan dayang itu demikian lusuhnya. Si dayang duduk bersimpuh di samping ranjang jati yang terbaring seseorang di atasnya. Tangisan si dayang tanpa henti karena meratapi kebodohan dan kelalaiannya dalam menjaga sang junjungan hingga menyebabkannya sedemikian rupa.
Ketika terdengar rintihan yang lirih, segera si dayang mendekat, menggenggam tangan lemah si sakit yang seorang perempuan.
"Ini Sum, Gusti. Ini Sum," ucap si dayang dengan bibir bergetar.
Si perempuan, sang Gusti Prameswari, kembali merintihkan sesuatu.
"Sum....," ujarnya lemah.
"Dalem, Gusti," jawab Dayang Sum.
"Di mana Dayang Sri?"
Pertanyaan dengan suara lemah itu nyatanya mampu menghunjam benak Dayang Sum. Perasaannya remuk redam tatkala harus mengingat kembali tubuh kaku sahabatnya digotong para prajurit.
"Sum..., di mana....?"
Dayang Sum menghapus air mata dengan punggung tangannya.
"Ampun, Gusti. Dayang Sri sedang beristirahat. Ia sudah lebih baik sekarang."
Dayang Sum membungkuk demi menghapus lelehan cairan yang semakin banyak dengan jaritnya. Bahunya kembali menjengit.
Sementara itu, sang prameswari, Mayasari, yang masih terbaring dengan tatapan sayu ke awang-awang, sedang berpikir tidak tentu arah. Sesekali ia meringis karena rasa sakit yang didera. Tanpa terasa, ujung-ujung netra itu meneteskan cairan bening. Mayasari menangis. Kejadian semalam agaknya benar-benar memukul hatinya. Betapa buruk perilakunya hingga Sang Maha Agung menghukumnya dengan cara demikian. Walau Mayasari tidak bertanya, tetapi telinganya cukup mendengar perihal jabang bayi yang tidak bisa bertahan dalam rahimnya.
"Aku sudah berdosa, Dayang Sum," ucap Mayasari, membuat yang dipanggil mendongak. "Ini hukuman yang adil untukku."
"Gusti, apa yang Gusti bicarakan?" Dayang Sum tetap menangis tetapi sebisa mungkin nada bicaranya ditegarkan agar Mayasari yang tidak memperhatikan tangisannya tetap mendengar kata-kata pendukung.
"Aku bukan garwa yang baik. Aku juga tidak bisa menjaga anakku."
Dayang Sum memperhatikan keadaan junjungannya. Ketika melihat rembesan darah di kain yang menjadi alas, dia berniat bangkit untuk memanggil Ki Ananta yang belum kembali dari pekerjaannya meramu obat.
"Aku ingin kau di sini, Dayang Sum. Tolong, dengarkan aku."
Ketika melihat sang prameswari menoleh, Dayang Sum yang sudah menegakkan lutut kembali bersimpuh.
"Aku minta maaf atas semua tindakanku yang merugikan kalian. Aku minta maaf."
Kepala Dayang Sum menggeleng-geleng cepat. Ingin ia bersuara tetapi kalah oleh air mata. Tenggorokannya seakan-akan tercekat.
"Bhre Aruna...," Mayasari kembali menatap awang-awang biliknya yang dilapisi kelambu dwiwarna. "aku tahu beliau sangat menyayangiku. Terkadang, aku dibuat pusing oleh jalan hidup yang ditentukan Sang Maha Agung untukku. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Tetapi, sebesar apa pun rasa kasih Bhre Aruna, seolah itu tiada artinya. Mengapa bisa demikian, Dayang?"
Tidak adanya sahutan dari lawan bicaranya membuat Mayasari tersenyum tipis. Senyum yang tidak dilihat si dayang karena masih sibuk menghapus jejak-jejak air mata.
"Bhargawala..., bolehkah aku mengakui bahwa aku benar-benar mengharapkannya, Dayang? Aku tahu, dia tidak akan berbuat demikian padaku. Harusnya, aku tahu siapa yang mendatangiku semalam. Tetapi, aku sudah lega bisa bertemu dengannya, Dayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Tarihi KurguSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...