Bab 6

986 123 2
                                    


Sunyi selalu menyapa Talanggung begitu langit menggelap. Itu adalah sebuah dusun kecil yang menjadi tempat bernaung Nyi Wiasih bersama sang putri. Jalan-jalan di sana remang-remang karena tidak semua penduduknya memiliki obor sebagai penerang. Kebanyakan dari mereka memilih menggunakan getah damar. Demikian pula Nyi Wiasih yang saat ini sedang disibukkan dengan kegiatannya memilah pisang.

"Besok berikan pisang ini ke Ki Buan agar dibuat obat untuk cucunya yang sering demam. Tinggal dicuci bersih lalu diiris-iris tebal kemudian direbus. Nah, air rebusan itulah yang diminumkan nanti. Tiga kali sehari. Kukatakan ini apabila beliau lupa," ujar Nyai Wiasih.

"Bukankah lebih baik apabila Indung yang membuatkan obat itu? Jadi, Indung bisa mendapatkan upah darinya. Jika seperti ini, Indung tidak akan mendapatkan apa-apa," cetus Nastiti yang menemani Nyi Wiasih memilah pisang.

Nyi Wiasih tertawa singkat mendengar keluhan sang putri. Katanya,
"Nasti, Indung tidak semata-mata mencari upah selama ini. Yang penting bisa membantu yang benar-benar membutuhkan. Selama ini pun kebutuhan kita telah terpenuhi. Justru, kadangkala kau yang memenuhi kebutuhan pangan kita dengan berburu. Omong-omong, kemarin kau membawa daging babi, apakah hutan di belakang itu masih ada penghuninya?"

Nastiti menggaruk pelipis sambil memikirkan jawaban yang tepat. Memanglah kemarin ia memaksa Bhargawala membawanya ke Pringaranya lagi. Nasibnya untung karena mendapatkan anak babi hutan.

"Oh, itu..., aku mendapatkannya dari seorang pedagang di peken. Dia mau menukarnya dengan nira yang kusadap."

Nastiti berharap indungnya bisa menerima jawabannya itu sehingga tidak perlu lagi pusing memikirkan jawaban lain. Sementara itu, rupanya Nyi Wiasih tidak lagi membicarakan perihal daging babi yang didapat Nastiti. Ia membersihkan sisa remah-remah hasil merapikan tandan-tandan pisang yang lebih banyak digunakan sebagai upah.

Damar sebagai penerangnya diambil usai kegiatan itu telah selesai. Nyi Wiasih membawanya ke dekat dipan agar memudahkan melihat sang putri yang duduk di pinggirannya. Ia lantas tersenyum lembut.

"Kau tahu, Indung tidak akan menyadari bahwa kau telah beranjak dewasa apabila orang-orang tidak mengingatkanku betapa cantiknya dirimu. Indung merasa, kau tetaplah gadis kecil Indung," katanya.

"Ah, mengapa Indung berkata demikian?" elak Nastiti yang walau menentang pernyataan tersebut tetapi ia malu jua.

Nyi Wiasih tertawa singkat.
"Dengar, Nasti. Kau sudahlah dewasa. Anak-anak pelanggan Indung, semuanya telah kawin. Yang Indung ingin tahu, apakah kau sudah mempunyai kawan lelaki?"

Bibir Nastiti mencebik samar. Kebiasaan menguping membuat gadis itu paham akan maksud Nyi Wiasih.
Tentulah ia merasa kesal pula karena celotehan para perempuan akan segera merisaukan sang indung.

Namun kemudian, Nastiti juga merasa bingung. Jika yang dimaksud kawan lelaki adalah lelaki yang paling dekat dengannya, tentu Bhargawala jawabannya. Tetapi, tidak mungkin mengatakan jika dirinya punya kawan dari bangsa siluman, bisa-bisa sang indung melarangnya untuk keluar rumah sampai tua.

Selama ini tidak ada yang tahu jika dirinya mempunyai pengawal dari bangsa siluman, bahkan Nastiti tidak mengerti mengapa Bhargawala menjadi pengawalnya.

"He, kenapa malah melamun?" tegur Nyi Wiasih. "Apabila kau sudah punya, kau boleh mengenalkannya kepada Indung."

"Kenapa Indung menanyakan hal itu?" Nastiti bertanya kembali.

Nyi Wiasih menghela napas berat.
"Indung hanya ingin memastikan kau memiliki pendamping yang baik, yang bisa menjaga dan melindungimu apabila Indung sudah tiada," jawabnya.

Raut wajah Nastiti seketika berubah muram bercampur tidak menerima.
"Kenapa Indung mengatakan hal demikian?" sangkalnya lalu memeluk sang indung dengan erat. "Aku akan bersama Indung selamanya."

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang