Bab 82

341 76 7
                                    

.
.

Seekor burung emprit berkicau tiada henti di antara dahan pohon mundu, bersahutan dengan kawan-kawannya. Di bawahnya, dua gadis jelita terlihat membicarakan sesuatu yang serius. Sedangkan beberapa depa dari mereka, satu sosok laki-laki terlihat menunggu.

"Begitulah ceritanya, Nasti. Aku harap, kau bisa memakluminya. Maaf jika baru menjelaskannya sekarang."

Nastiti termenung. Gadis itu berusaha mencerna pernyataan Wendari yang membuatnya mengerti penyebab Bhargawala tidak menanggapi panggilannya beberapa hari terakhir. Juga, mungkin hal itu yang mempengaruhi perasaannya menjadi tidak tenang. Si gadis merasa seolah-olah hatinya dirundung kesedihan tanpa alasan jelas. Itu membuatnya bingung.

Di satu sisi, gadis itu merasa lega. Bahwa benaknya yang gundah gulana bukan karena Nawala yang tidak kunjung menyambanginya. Walau dalam hati ia masih ragu akan hal tersebut.

"Aku mengerti, Wendari. Terima kasih atas penjelasanmu."

Wendari mengangguk.

"Di mana Bhargawala sekarang? Dan, apa yang bisa kulakukan untuknya?" tanya Nastiti.

Desahan berat dikeluarkan Wendari. Ia toleh sebentar sang suami yang masih setia menunggu di belakang sana.

"Kami tidak tahu di mana dia. Sepertinya Kangmas tidak ingin diganggu. Sebenarnya aku dan Kakang Gamakanta sudah membujuknya sebelum ia pergi. Tetapi, kiranya Kangmas Bhargawala masih menyimpan lara. Aku benar-benar kehabisan akal, oleh karenanya aku mendatangimu. Karena kau adalah pratalinya, aku pikir jika kau merasa tenang, Kangmas Bhargawala juga turut merasakannya. Mungkin cara itu bisa berhasil," tutur Wendari penuh harap.

Nastiti terketuk. Ia hampir melupakan hal itu.

"Kau benar, Wendari. Ah, aku benar-benar bodoh. Padahal selama ini Bhargawala juga selalu membantuku." Nastiti menatap sepupunya. "Aku akan mencobanya."

Wendari tersenyum lega. Akan tetapi, sebentar kemudian pertanyaan Nastiti melunturkan harapannya.

"Tetapi Wendari, bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan?"

"Nasti...," Wendari menggamit tangan Nastiti. "Itu sangat mudah. Buat saja hatimu senang. Bahagiakan dirimu sendiri dengan melakukan sesuatu. Kau bahkan bisa membayangkan hal-hal yang indah, maka hatimu akan merasa damai dan itu akan berpengaruh pada Kangmas Bhargawala. Mengerti?"

Nastiti menggigiti bibir bawahnya. Ia merasa bimbang untuk bisa melakukannya. Pada benaknya, si gadis masih menyimpan kecewa pada seseorang. Lalu, bagaimana ia bisa merasa bahagia?

"Kenapa, Nasti? Ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu?"

Lawan bicara Wendari itu menggeleng. Ia lepaskan tangannya dari Wendari kemudian berpaling. Si gadis berpikir dalam. Ia mencoba memahami diri. Apakah yang sebenarnya ia rasakan kepada Nawala?
Cukup lama ia terdiam, sementara Wendari masih setia menunggu. Hingga akhirnya, Nastiti memutuskan sesuatu.

"Wendari, bolehkah aku meminta tolong kepadamu? Aku berjanji, setelah ini selesai, aku akan membantu Bhargawala."

Anggukan Wendari membuat Nastiti tersenyum lebar. Siluman itu kemudian menuruti kemauan sepupunya untuk diantar ke sebuah tempat yang disebut Sumber Dukuh, tentu dengan cara yang tidak biasa. Hanya butuh sekedipan mata untuk sampai. Di sana, Nastiti bertemu dengan seorang lelaki sepuh. Gadis itu pun mengutarakan maksudnya. Setelah beberapa saat, seorang pemuda dengan kisaran usia dua puluhan muncul. Cukup lama Nastiti berbincang dengan pemuda itu di tempat yang cukup berjarak dari Sumber Dukuh.

"Hanya itu yang saya ketahui, Nimas."

Nastiti terdiam usai mendengar penjelasan Jatmika mengenai hubungan Nawala dan Mayasari. Dari keterangan itu, dia mengetahui jika si pemuda sempat dijodohkan dengan dara Hanimpura tersebut. Walau ia tidak mengetahui bagaimana perasaan Nawala kepada sang prameswari, tetapi hati Nastiti sudah merasa terhimpit.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang