Bab 58

661 102 19
                                    


Bale Agung
Hanimpura

Singgasana terlapisi emas itu telah diduduki pemiliknya. Hiasan yang berada di puncak tengahnya, berbentuk kepala lembu lengkap dengan tanduk besarnya, menjadikan tempat itu terasa megah dan seolah hidup. Maka, tidak salah jika para pemilik tahta akan merasakan betapa 'tingginya' berada di sana, pun membuat mereka terlihat lebih gagah.

Pada Bale Agung hari ini, hampir semua pemuka Hanimpura hadir. Selain membahas masalah-masalah seputar Haningan, tentu saja juga membahas masalah utama. Sehingga mengharuskan mereka menyanggupi undangan sang Bhre muda.

"Sesuai keterangan yang disampaikan teluk sandiku, Bayanaka telah sampai di Reja Agung. Kemungkinan besar mereka akan mengambil jalur memutar." Diedarkan pandangan sang Bhre muda ke seluruh ruangan, mengamati para bawahan yang mendengar walau tengah menundukkan kepala.
"Lembah Jerit mungkin menjadi salah satu jalan yang mereka ambil, mengingat wilayah itu jarang dipantau. Tetapi, tidak menutup kemungkinan jika ada jalan lain yang diambil, melihat jalur di Lembah Jerit begitu sulit ditempuh, bahkan jika berkuda.

Oleh karena itu, aku akan mengambil beberapa keputusan. Akan kuperintahkan beberapa Senopati untuk memimpin pasukan ke beberapa titik. Untuk jalur Lembah Jerit sendiri, aku menunjuk kau, Senopati Anggara, untuk memimpin pasukan ke sana. Senopati Arpagati dan para pendekar akan membantumu nanti."

"Sendhika dhawuh, Bhre Aruna." Hampir bersamaan Anggara dan Senopati Arpagati menyahutnya.

Maka, setelahnya Raka Gangsar membentuk pasukan-pasukan yang terdiri setidaknya sepuluh prajurit, seorang Rangga Senopati dan seorang Senopati sebagai pemimpin. Disebar para prajurit tersebut ke wilayah-wilayah yang kemungkinan besar akan diambil Bayanaka menuju Galung Asri. Bhre muda itu juga akhirnya mencabut jaminannya terhadap padepokan besar di Haningan tersebut. Dia berpendapat bahwa Galung Asri mendukung Bayanaka.

Akan tetapi, beberapa pejabat tidak menyetujui adanya rencana penindakan terhadap tempatnya para ksatria menimba ilmu tersebut. Itu juga termasuk Anggara. Belum adanya bukti-bukti yang kuat, membuat pendapat pemuda itu mudah diterima para pejabat lain yang masih menaruh segan terhadap para guru di Galung Asri. Selain itu, adanya peristiwa yang menelan korban jiwa pada beberapa murid Galung Asri semakin menguatkan pendapat Anggara, bahwa padepokannya tidak bisa dikatakan mendukung Bayanaka.

Oleh karenanya, Raka Gangsar menunda sementara penindakan terhadap padepokan tersebut. Ia tahu, jika memaksakan kehendak malah akan menimbulkan kekacauan nantinya. Maka, menunggu waktu yang tepat adalah keputusan yang benar. Bukankah ia sudah berhasil menyeret Anggara dalam perangkapnya?

Pertemuan itu telah selesai pada saat srengenge mudhun*. Patih Ranggita adalah yang selalu terakhir menemani junjungannya. Ketika sang junjungan memberi isyarat, segera ia memanggil seseorang. Sosok berpakaian hitam dan bercadar segera mengaturkan sembah hormatnya kepada sang Bhre muda. Sabuk kain merah yang melingkari pinggangnya menjadi bukti bahwa ia adalah anggota pasukan khusus Walingan, entah yang tersisa atau merupakan pasukan baru.

"Aku ingin kau mengawasi Senopati Anggara. Jika ia benar menghadapi Bayanaka di Lembah Jerit, tunggulah sampai ia lengah. Setelah itu, panahmu harus tepat mengenai sasaran. Kau mengerti?"

Sosok itu hanya mengangguk. Maka Bhre Aruna melempar sebuah kantung kepadanya lalu berkata, "Aku tidak mau menerima kegagalan."

Setelahnya, segera pergi sosok tersebut melalui jalan khusus di belakang singgasana.

"Jadi, Anda benar-benar tidak memerlukan Anggara lagi?" Bertanya akhirnya Ki Ranggita.

"Dia terlalu mengancam. Pendapatnya tentang Galung Asri tadi sudah cukup membuktikan bahwa ia bisa menghambat tujuanku. Pastikan Senopati Arpagati melaksanakan tugasnya."

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang