Timun Mas

331 55 0
                                    

.
.
Suara gedebuk disertai erangan kecil terdengar semakin jelas di telinga seorang dayang yang membawa nampan berisi buah-buahan yang sudah dikupas. Dayang itu menghampiri dua lelaki yang duduk bersebelahan di sebuah saung sederhana. Mereka tengah menghadap ke depan sampai tidak memperhatikan dayang itu telah meletakkan nampan dan menyelesaikan tugasnya.

Adapun yang menjadi pusat perhatian dua lelaki yang merupakan kakang-adi itu adalah seorang bocah kira-kira berusia enam atau tujuh tahun, yang baru saja menjatuhkan salah seorang lawannya yang seorang prajurit. Sementara, bocah itu sekarang harus menghadapi lawan terakhirnya. Kuda-kudanya mantap dengan tatapan tajam ke arah prajurit berbadan tidak kalah tegap dari sebelumnya. Otot-otot lengan tampak mengeras, dihiasi keringat yang membuat kulit coklat terangnya mengilap.

Sebentar saja, dua petarung yang tampak tudak imbang itu beradu. Si prajurit menyerang seolah lawannya adalah musuh yang tidak boleh dikasihani sedangkan si bocah sendiri begitu ulet dan tangguh menghadapi. Pergulatan tangan kosong itu pun mulai menampakkan hasil. Terlihat gerakan lincah si bocah semakin membingungkan lawan. Pun kekuatannya tidak sembarangan. Pada satu kesempatan, si bocah meloncat tinggi hingga mampu melewati atas kepala si prajurit. Dengan satu tendangan di bahu, prajurit itu terhuyung-huyung.

Kemudian, pada kesempatan lain, si bocah menjatuhkan diri dengan posisi duduk lalu melesat ke depan, melewati si prajurit dari sela-sela kaki yang terbuka lebar, seolah dia tengah ditarik suatu kekuatan. Lalu, dengan gerakan cepat si bocah berbalik dan secara kilat menotok kedua kaki si prajurit tepat di bagian belakang lutut. Dengan demikian, jatuhlah si prajurit karena kedua kakinya tiba-tiba lumpuh.

Tepuk tangan tanda kebanggaan diberikan Aditya Seta pada si bocah yang napasnya terengah-engah.

"Cukup, latihan kali ini sudah cukup, Raka Gangsar," seru sang Paduka Bhatara.

Dua prajurit yang terluka akhirnya mendapat bantuan dari kawan mereka yang beruntung tidak kebagian jatah bertanding. Raka Gangsar segera menghampiri sang paman, menjura, lalu mengambil tempat di samping sang ayah.

"Lihatlah, Danendra. Ini adalah putramu yang patut kaubanggakan. Sungguh, dia pantas menjadi seorang pemimpin nantinya. Ah, andai kau dulu berlatih dengan sungguh-sungguh, pasti kau juga bisa sekuat dia, Danendra. Keahliannya dalam olah kanuragan pastilah menurun darimu. Mungkin itu adalah bentuk bakat terpendam yang dulu kau sia-siakan." Aditya Seta berceloteh sementara Danendra hanya menanggapinya dengan senyum samar. Ia amati sang putra yang tampaknya kelelahan.

"Minumlah air barang seteguk, Putraku," ujar Danendra sembari mendorong sebuah teko besar di samping nampan berisi buah-buahan.

"Melihat kemampuan Raka Gangsar yang terus meningkat, aku jadi teringat pada gurunya. Di mana Patria? Mungkin aku perlu mengangkatnya sebagai mahaguru."

"Ah, saya rasa itu belum perlu dilakukan, Kakangmas. Patria hanya menjalankan tugasnya. Lagi pula, bukan hanya Patria yang mengajari Raka Gangsar ilmu beladiri. Resi Carupa dari Galung Asri juga yang lebih patut diberikan tanda jasa."

Aditya Seta terkekeh sembari manggut-manggut.

"Ya, ya. Jika membicarakan jasa beliau, tentu tidak akan ada habisnya. Beliau dan Galung Asri adalah kebanggaan bagi Haningan. Sudah berapa banyak ksatria dan pejabat keraton hasil didikan beliau dan rata-rata semuanya berhasil menjadi 'orang', bukan hanya sekadar memiliki ilmu yang digunakan serampangan. Baginda Raja Malwapati bahkan telah berkunjung dua kali ke sana. Tidakkah itu suatu kehormatan, Adimas?"

"Benar, Kakangmas."

Merasa perlu memperhatikan Raka Gangsar, Aditya Seta akhirnya menanyakan sesuatu kepada keponakannya tersebut.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang