Bab 60

479 85 5
                                    


Pertandingan itupun menjadi semakin sengit. Saswira mulai memancing murka sang lawan dengan sentilan-sentilan nakalnya, sementara Rangkablatung sendiri tampaknya mulai terpengaruh cara bermain Saswira, yang demikian membuat gerakannya semakin ganas namun tidak beraturan. Sehingga Saswira dengan mudah mematahkan serangan selanjutnya.

Tangkisan pedangnya membuat senjata berantai milik Rangkablatung terpental ke atas. Rangkablatung segera menarik senjatanya, namun Saswira segera meloncat ke atas dan memukul tiga pisau yang terbuka tersebut hingga jatuh ke atas tanah lalu diinjaknya senjata itu sehingga Rangkablatung kesulitan untuk menarik kembali.

Sepertinya Rangkablatung terlanjur geram sampai ia tidak bisa memikirkan jalan lain daripada tetap berusaha menarik senjatanya layaknya anak kecil yang tengah digoda.

"Singkirkan kaki busukmu itu, Bocah Nakal!"

Saswira hanya tersenyum sinis. Ketika tarikan itu dirasa semakin kuat, segera saja ia angkat kaki. Rangkablatung yang tidak menyangka akan hal tersebut tidak bisa mengendalikan laju senjata yang mengarah kepada dirinya, sehingga dengan cepat ia mengelak. Senjata itupun akhirnya mengenai dinding batu yang akhirnya meledak.

"Selesaikan pertandingan anak kecil ini, Rangkablatung! Kau semakin melemah saja."

Mendapat cercaan seperti itu dari sang pimpinan, membuat ubun-ubun Rangkablatung hampir saja meledak. Ia tarik senjata andalannya lalu kembali ia lecutkan ke arah Saswira.

Menyadari lawan tengah mengamuk, Saswira tidak lagi bermain-main. Ia sarungkan pedangnya. Diambilnya sebuah ancang-ancang; tangan kirinya memutar-mutar udara lalu dimajukan ke depan seolah ingin mencengkeram; tangan kanannya bagai meraih sesuatu dari atas lalu ditarik ke belakang sejajar dada. Seketika hawa panas di sekitarnya menjadi dingin.

"Angin Manggilingan," gumam Nawala.

Ketika itu, Rangkablatung seakan tidak peduli akan jurus yang digunakan Saswira. Tetap diacungkannya senjata ke arah lawan, dan ketika badan rantai senjatanya mampu ditangkap Saswira, barulah ia merasakan dinginnya senjata itu. Dingin yang benar-benar membekukan.

Rupanya Saswira menyalurkan ajiannya melalui senjata rantai bermata pisau tersebut. Sehingga sang lawan menjadi tidak berkutik. Terlihat sekali tubuh Rangkablatung yang gemetar, menggigil sampai bibirnya membiru. Tidak ingin berlama-lama lagi, Saswira menyentak senjata lawannya dan terpentallah Rangkablatung hingga menabrak dinding batu.

Melihat anak buahnya hanya bisa mengerang tanpa bisa bangkit lagi, membuat pimpinan bramacorah terkejut. Diberinya perintah kepada anak buahnya yang lain untuk memindahkan Rangkablatung. Ditatapnya para pemuda itu dengan murka.

"Rupanya aku salah mengira. Kalian benar-benar para pemuda pilihan. Siapakah kalian sebenarnya?"

"Kami hanyalah pengembara, Tuanku. Yang hanya ingin diberi kelonggaran jalan di Lembah Jerit."

Tertawa sang pimpinan bramacorah mendengarnya.
"Aku sudah sering mendengar alasan itu. Berikanlah alasan lain. Atau, kalian bisa membuka jati diri kalian."

Saling pandang sebentar Nawala dan kedua kawannya.
"Kami benar-benar hanya pengembara, Tuanku. Jika Tuanku mengijinkan, berilah kelonggaran jalan kepada kami sekalian."

Kali ini sang pimpinan bramacorah tersenyum kecut.
"Kalau begitu, selesaikan dulu apa yang telah kita mulai, wahai Anak Muda. Kuakui, anak buahku tadi telah kalah, maka aku perintahkan Sendangdawu, untuk menjadi lawan selanjutnya."

Majulah salah seorang di antara bramacorah itu; yang berperawakan besar namun pendek; dengan brewok seolah tidak pernah dirawat; alisnya pun mencuat tidak beraturan; rambutnya berwarna merah karena seringnya terpapar sinar sang surya; sepasang trisula sepanjang satu hasta digenggam di kedua tangannya.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang