Di sisi lain, pertarungan Patih Sanjala dengan Ki Daka semakin sengit. Agaknya, pendekar Rembang Ireng itu ingin segera mengakhiri perlawanan. Selendangnya yang bergerak lincah mengikuti arah gerak lawan itu semakin mendesak. Sanjala agaknya juga tidak menyangka akan gesitnya pergerakan si pendekar sepuh. Sejenak selendang itu bisa diaturnya seakan-akan kaku dan keras hingga sanggup menangkis paser yang dilempar sang patih
Namun berikutnya mendadak berubah lentur dengan membelit batang pohon layaknya ular, selain itu ujung selendang itu juga mematuk-matuk yang apabila terkena bisa menyebabkan luka yang serius, mengingat beberapa pohon jati roboh terkena patukannya.Sanjala kini tidak bisa lagi bermain-main dengan senjata kecilnya. Dikumpulkannya tenaga dalam yang ada, seketika terdapat semacam kilatan-kilatan kecil menyelubungi kedua tangan.
Ki Daka mundur selangkah. Agaknya, lawan di depannya telah bersedia mengeluarkan jurus andalan."O, jadi itukah ajian Wajra Ruksa?" tebaknya.
Yang ditanya tidak menyahut. Ki Daka yang tidak sabar ingin menjajaki ajian itupun langsung melempar selendangnya. Demikian cepat selendang itu hingga hampir sampai pada sang patih, tetapi seketika itu juga kedua tangannya menangkap selendang tersebut, mengalirkan kilatan-kilatan kecilnya melalui selendang dengan cepat.
Ki Daka pun segera menyadari itu, ditariknya selendangnya sedikit lalu mengalirkan tenaga dalam untuk menghadang kilatan kecil itu sampai kepadanya. Terjadilah benturan tenaga dalam yang kuat pada selendang yang menjadi keras seolah itu adalah baja. Kedua tangan orang tua itu bergetar menahan energi yang bertabrakan. Kilatan kecil Sanjala pun menjadi semakin besar, seolah-olah itu adalah petir yang mencambuk-cambuk, sementara tenaga dalam Ki Daka menahannya bagai tameng.
Sang patih Haningan pun tidak ingin menyia-nyiakan peluang. Ia menarik sedikit ujung selendang, menggulungnya beberapa kali hingga lawannya terpaksa maju pula, dengan sekali hentakan keras, sang patih mengeluarkan serangan bagai sengatan petir yang luar biasa terhadap Ki Daka.
Si pendekar sepuh berteriak nyaring dan kini tergulung beberapa kali. Hal itu pula sejenak mampu mengalihkan perhatian Bhayanaka. Ia sempat mengira bahwa sang patih akan terluka. Rupa-rupanya laki-laki paruh baya itu masihlah berdiri tegak.
Nagapeti pun tak ayal mengambil kesempatan. Kelengahan sang gusti segera dimanfaatkan Nagapeti, diambilnya segera senjatanya kemudian menghampiri Ki Daka yang masih terkapar di tanah.
"Cih! Aku pikir kau sudah mati, Tua Bangka!"
Ki Andaka mendengkus kasar setelah mendapat tanggapan dari Nagapeti. Segera saja dia bangkit meski sedikit tertatih. Tubuhnya sedikit berasap. Jika saja terlambat menggunakan parise, mungkin kini ia telah menjadi daging bakar.
"Gusti, sekarang!" pekik Sanjala lantang.
Bhayanaka benar-benar linglung untuk menentukan sementara terlihat Jatmika tahu-tahu saja datang membawa kuda mereka yang sempat lari. Namun demikian, keadaan pengawalnya itu sedikit mengenaskan karena wajahnya yang terlampau pucat dengan bekas darah memenuhi bibir, juga luka pada bagian bahu ke punggung yang begitu parah.
"Gusti." Suara parau Jatmika terdengar dan itulah yang menyadarkan Bhayanaka.
Sanjala di depan sana menghadang tiga pendekar sendirian. Benak sang gusti muda benar-benar tidak tega, tetapi apabila ia berlarut-larut dalam menghadapi pendekar-pendekar itu pun akan lebih merugikannya dan usaha Sanjala akan sia-sia belaka.
Berat hati ia menaiki tunggangan. Dengan menggeser tempat Jatmika ke belakang, disentak pula tali kekang itu sehingga si kuda melaju.
"Mengorbankan diri demi orang lain. Sama halnya dengan yang dilakukan samya haji, tetapi hasilnya pun telah diketahui!" cemooh Ki Daka yang kemudian terkekeh-kekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Ficción históricaSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...