Bab 94

379 68 28
                                    


Catatan:
(Saya letakkan di awal agar lebih mudah membayangkan artinya ketika membaca. Jika manteman sekalian merasa tidak nyaman dengan cara ini, mohon masukannya. Terima kasih. 🙏)

*Cundrik: keris kecil yang bisa diselipkan di bagian tersembunyi. Disebut juga dengan badik. (Biasanya dipakai para perempuan pada masa Mataram Islam untuk membela diri. Tetapi, di era Kahuripan, cundrik biasa dipakai baik perempuan maupun laki-laki.)
*Crigan: wadah keris di pinggang
*Warangka: sarung keris
*Warangan: cairan/minyak yang mengandung racun arsenik untuk melapisi keris agar tetap awet.
*Ganja: bagian dari keris (dekat hulu) yang melintang.
*Gerenengan: ganja yang bergerigi.

.
.

Rombongan dari Malwapati tampak bersiap-siap. Satu pedati sederhana untuk sang pangeran telah disediakan. Sementara beberapa lainnya memeriksa kuda-kuda tunggangan. Yang berjalan kaki memastikan perbekalan mereka lengkap. Rencananya, rombongan itu akan langsung menuju Hanimpura. Mereka akan bertemu di suatu titik yang telah ditentukan dengan para prajurit penjemput dari Malwapati.

Para pelayan Ki Paragak pun tidak kalah sibuk. Mereka bertugas memastikan para tamu lengkap perbekalan makanan maupun obat-obatannya. Nastiti dan Lembayung juga membantu. Mereka mengikat daun jati yang dijadikan pembungkus daging asap. Setelah siap, lauk pauk itu dibawa pelayan lainnya segera ke depan.

"Yunda, apakah Yunda tidak ingin mengantar kepergian Raden Anggara?" tanya Nastiti setelah tidak ada lagi yang bisa mereka kerjakan.

Gadis itu mengamat-amati arah depan, yang tampak padanya hanyalah para pelayan yang berseliweran serta Patria yang berbincang-bincang dengan Ki Paragak.

"Marilah, Yunda, aku antar ke sana," ajak Nastiti.

Lembayung menggeleng pelan.
"Tidak perlu, Nasti. Biarlah ia pergi. Aku tidak ingin memberinya harapan yang malah membebani tugasnya nanti."

Nastiti urung membalas. Ia tidak lagi membujuk sahabatnya tersebut.
Ia pun menjadi teringat tentang Nawala. Semalam mereka telah membuat janji. Dengan ucapan Lembayung yang demikian membuatnya berpikir jika apa yang mereka ikrarkan itu akan menjadi penghalang bagi si pemuda.

Ketika si gadis masih terbayang-bayang hal yang lalu itu, deheman seseorang menariknya ke dunia nyata. Dan, di depannya ternyata telah berdiri seorang pemuda.

"Maaf mengganggu, tetapi aku perlu bicara dengan Lembayung sebentar saja," ucap Anggara.

Nastiti membalasnya dengan anggukan. Ia pun pamit kepada Lembayung.

Sepeninggal Nastiti, Anggara tidak segera mengambil tempat. Pemuda itu tetap berdiri di depan Lembayung karena memang niatannya hanya untuk berpamitan.

"Maaf jika aku belum bisa mengantarmu ke Bulukuning." Anggara memulai percakapan. "Kau bisa kembali ke sana jika keadaan sudah memungkinkan."

"Saya mengerti, Raden," balas Lembayung.

Desir angin pagi terasa dingin bagi sejoli tersebut. Diamnya mereka karena masing-masing merasa ada sesuatu yang mengganjal benak. Pandangan Anggara sempat tertuju pada cucuk sanggul yang dipakai si gadis. Hal itu kembali menumbuhkan harapan-harapan walau si pemuda berusaha keras menampiknya.

"Aku sudah menjamin keselamatanmu pada Gusti Senapati Dhiwangkara. Itu akan berguna untukmu jika aku tidak bisa menunaikan janjiku. Aku harap kau akan baik-baik saja di sini," tambah Anggara.

Pernyataan Anggara itu membuat benak Lembayung bergemuruh. Ia merasa seperti ada yang menyengat hatinya. Maka, ia sedikit menundukkan kepala untuk menyembunyikan perubahan air muka. Gadis itu bahkan kehilangan kata-kata untuk membalas. Sejak Senapati Agung Dhiwangkara memerintahkan Anggara untuk membela nagaranya, ketika itu benak Lembayung bagai tidur di atas miang. Ia tahu benar kedudukan si pemuda sebagai seorang prajurit. Ia juga merasa tidak berhak menyimpan kekhawatiran, terlebih tidak ada hubungan berarti antara mereka. Akan tetapi, ia sadari jika hati kecilnya tidaklah menyatakan demikian.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang