.
.Pramita merasakan sakit di sekujur tubuh. Gadis itu tercelentang. Tenggorokannya tercekat akibat tangis yang tertahan. Sedangkan pakaiannya sudah koyak. Ia hampir telanjang. Sepasang matanya hanya mampu memandangi akar-akar gantung waringin yang melambai-lambai diterpa angin malam di atas sana.
Bibirnya menggumamkan nama sang ibu dengan sangat lirih, begitu nelangsa. Sayangnya, yang dipanggil tidak akan mampu membantu. Bungsu Juragan Karna itu akhirnya meneteskan air mata kala teringat apa yang terjadi padanya. Bentakan-bentakan yang diterima dari sang bapa sebelum ia ditinggalkan di hutan karena dianggap berulah kembali terngiang. Sedari dulu, lelaki yang disebut sang ibu sebagai bapanya itu selalu menghinanya. Beruntung ia memiliki Purwita yang selalu melindungi dan menghibur. Akan tetapi, hari ini lain. Hari ini sang ibu tidak kunjung membuka mata, membuatnya tidak bisa menerima. Ia lalu dianggap berpolah-polah. Kemudian, para pengawal tiba-tiba menyeretnya, membawanya ke hutan.
Malang bagi Pramita karena para lelaki yang biasa mengitari sang bapa itu malah memanfaatkan kesempatan. Mereka menggilir si gadis yang tuna akal tersebut kemudian meninggalkannya begitu saja.
Si bungsu hanya bisa meratap. Dia tidak pernah merasakan derita senestapa ini. Benaknya remuk karena merasa sendirian. Sesekali terdengar rintihan. Rasa nyeri di bagian bawah membuatnya sempat pingsan sesaat. Tidak berapa lama, gadis itu merasa ada sesuatu yang menindih tubuhnya. Jantung Pramita berdetak-detak. Ia merasa takut jika kejadian naas yang dialami terjadi lagi.
Akan tetapi, yang terjadi selanjutnya adalah hal berbeda. Pramita merasa sesak. Bibirnya cungap-cangip. Ketika terlihat kepala ular berukuran tidak biasa muncul, matanya melotot. Ular itu melilit separuh tubuh si gadis.
"Gadis yang malang. Aku tahu apa yang menimpamu. Sungguh menyedihkan," ucap si ular, yang sekonyong-konyong membuat Pramita kaget bukan kepalang.
Belum tuntas kekagetan tersebut, tiba-tiba saja secercah cahaya menyelimuti si ular, membuatnya berubah menyerupai manusia.
"Sebenarnya aku ingin memakanmu tadi, tetapi sepertinya kau bisa kumanfaatkan."
Pramita mengedip-ngedip. Ia tidak bisa memahami apa yang terjadi. Pasrah saja gadis itu ketika si ular yang kini menyaru sebagai laki-laki tersebut menyentuh keningnya dengan telunjuk. Seketika, dunianya serasa berputar. Pramita memekik kecil. Kemudian, serentetan peristiwa selama hidupnya seolah-olah diputar kembali secara cepat, membuat mata Pramita bergerak-gerak tidak menentu.
"Aku akan memulihkan akalmu. Ingat-ingatlah apa saja yang membuatmu menderita dan sengsara," kata si laki-laki ular.
Kegiatan itu tidak berlangsung lama. Sebentar kemudian, Pramita mengerjap-ngerjap lalu menatap sekeliling. Ia benahi pakaiannya yang belum dirapikan. Ditoleh seorang laki-laki bermanik mata kuning emas dan pipih yang bersila di dekatnya tersenyum puas.
"Anda...," Pramita menerka-nerka.
"Namaku Sarpa Bupala. Aku adalah pangeran ke empat dari sebuah antareja* di barat. Aku telah mengetahui apa yang menimpamu. Untuk itulah aku membantu memulihkan akalmu seperti selayaknya manusia dewasa. Tetapi pertolonganku tidaklah tanpa syarat," terang si laki-laki yang telah mengaku tentang jati dirinya.
Setelahnya, Sarpa Bupala menyebutkan apa saja hal-hal yang perlu dilakukan.
Pramita menuruti saja persyaratan yang ditetapkan Sarpa Bupala. Siluman ular itu menginginkan Pramita sebagai istrinya. Hal tersebut dilakukan agar si siluman bisa menggunakan kecantikan si gadis demi menarik mangsa-mangsa yang dikehendaki dengan mudah."Setelah ini, setengah kekuatanku adalah milikmu. Kau bisa menggunakannya untuk membalas perbuatan mereka yang pernah menyakitimu, Dwisana."
Bisikan sang suami yang baru saja menyalurkan energi silumannya membuat Pramita tersenyum. Ia menyeringai puas. Diambil busananya yang terserak. Sinar dendam di matanya menyala bagai kilau pedang. Kini saatnya ia kembali menemui sang bapa untuk bertukar sapa dengan nyawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Fiksi SejarahSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...