Kiranya, jalan panjang yang merupakan jalan pintas menuju Galung Asri itu memang sangatlah panjang. Bhayanaka sendiri memperkirakan mereka akan tiba di tujuan menjelang pagi. Untung saja, tidak banyak halangan yang terjadi. Meski terkadang lolongan anjing hutan atau penampakan satu-dua ekor babi cukup menakuti kuda-kuda mereka.
Ketika udara menjadi semakin dingin dan arah angin telah berubah, mereka tahu bahwasanya sang surya akan menggantikan cahaya rembulan yang menemani perjalanan mereka. Hingga akhirnya semburat merah telah muncul di ujung timur. Jalan menanjak kembali mereka lalui hingga tampaklah satu gerbang bambu. Witantra meloncat turun dari kudanya, diikuti Bayanaka.
Di depan gerbang bambu tersebut, Witantra mematikan obornya kemudian menyerukan sandi masuk. Setelah menunggu beberapa saat, terdengar seruan balasan dari dalam. Gerbang bambu itu terbuka dan menampakkan lelaki tua dengan perawakan tubuh kurus dan kecil. Orang itu segera mempersilakan Witantra dan Bhayanaka masuk.
Kuda-kuda dibawa para cantrik yang bertugas sedangkan Witantra menuntun Bhayanaka menuju sebuah graha yang telah ditunjuk sang guru sebagai tempat pertemuan.
Kawasan teduh dengan banyak bambu dan pohon bodhi yang kini dimasuki Bhayanaka adalah bagian belakang dari padepokan Galung Asri, sehingga keadaannya memanglah lebih sepi ketimbang bagian utamanya.
Kebanyakan yang berjaga di sana adalah cantrik-cantrik yang telah sepuh.Sampai memasuki graha yang dituju, telah tampak seorang pandita dengan wajah lembut menenangkan menunggu. Beliau duduk di dipan dengan tasbih di tangan.
Begitu melihat sang guru, seketika raut wajah Bhayanaka menjadi lega.
Segera saja ia mengaturkan sembah hormatnya."Rahayu, Guru!"
Sang guru yang lebih dikenal dengan nama Rsi Gesang itu mengangguk singkat.
"Saya senang bisa melihat Gusti dalam keadaan baik seperti ini," ujarnya kemudian menatap Witantra.
"Aku tidak melihat Saswira dan Adi Baskara, ke mana mereka?"Pertanyaan sang guru membuat Witantra gugup, namun ia harus tetap melaporkan kejadiannya.
"Ampun, Guru. Kami terpaksa berpisah dikarenakan keadaan pengawal Gusti Bhayanaka yang tidak memungkinkan untuk dibawa sampai ke mari.""Lalu, ke mana mereka pergi?"
"Mereka ke kediaman Ki Wal, Guru."
Sang guru mengangguk-angguk. Perhatiannya kini beralih kembali kepada Bhayanaka. Pemuda itu tampak lusuh dan terdapat beberapa luka.
"Sebaiknya Gusti beristirahat barang sejenak sementara Witantra akan memanggil walen. Luka Gusti Bhayanaka harus segera ditangani," katanya.
"Ya, Guru. Tetapi, saya pun sebenarnya ingin mengetahui hal yang terjadi di Haningan. Patih Sanjala mengungkapkan bahwa Raka Gangsar adalah dalang di balik semua ini. Saya pun pada akhirnya mempercayai hal tersebut manakala berhadapan dengan tiga pendekar bayarannya semalam yang mengungkap pengirim mereka," tutur Bhayanaka yang sebenarnya masih ingin mengutarakan uneg-uneg, tetapi tidak sanggup jua ia merangkai kata. Sehingga kemudian yang bersuara adalah Rsi Gesang.
"Saya pun tidak memiliki pengetahuan mengenai masa lalu Raka Gangsar yang menjadi penyebab. Patih Sanjala hanya mengungkapkan bahwa kemungkinan besar yang menjadi pendorongnya adalah rasa dendam di masa lalu yang dilakukan mendiang samya haji Aditya. Selain itu, ada pula kemungkinan lain yakni memang dari semula ada bibit-bibit ingin menguasai di benak Raka Gangsar tersebut," tutur sang guru.
"Dendam apa sehingga ia tega melakukan hal keji kepada mendiang ayahanda dan ibunda?"
"Untuk hal itu, saya tidak mengerti secara rinci karena memang keterlibatan Raka Gangsar baru dibahas Patih Sanjala manakala ia mengirimkan seorang bekas emban untuk aku lindungi pula." Rsi Gesang mengungkapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...