Bab 16

815 89 12
                                    

"Waktu itu walen, dukun, dan hamba begitu ketakutan, Gusti. Kami takut akan hukuman mati karena lancang memutuskan kematian putra mendiang samya haji. Oleh karenanya, kami sepakat menyembunyikan kebenaran tersebut. Hamba membawanya pergi dari Hanimpura hingga sampai di wilayah perbatasan utara. Di sana, saya menitipkannya kepada bapa guru."

Penuturan Nyi Purbi tentulah mengejutkan Patih Sanjala. Sama sekali tiada terlintas akan kenyataan yang menggemparkan ini. Jabang bayi yang dahulu disangka mati rupanya masih hidup! Itu berarti, Aditya memiliki penerus sah untuk Haningan! Sanjala tidak tahu apakah harus bergembira atau prihatin dengan kenyataan tersebut. Yang jelas, hal ini harus disimpan dengan hati-hati.

"Sungguh keji apa yang kalian lakukan!" tegur Sanjala hingga membuat Nyi Purbi tersedu-sedu. Si bekas emban bahkan memohon ampun tiada henti.

Namun demikian, sejatinya Sanjala tidak berkenan memberikan hukuman. Telah banyak kejadian malang yang terjadi sehingga ia pun hanya meminta keterangan lebih banyak mengenai putra Aditya tersebut.

"Lalu, di mana anak itu berada? Masihkah bersama bapa guru?" tanyanya. Sungguh sebenarnya ia tidak sabar untuk bertemu dengan calon penerus Haningan tersebut.

"Ampun, Gusti. Selama hamba titipkan, bapa guru merawatnya dengan sangat baik sehingga ia tumbuh menjadi pemuda yang pandai. Namun terakhir hamba menjenguknya, bapa guru mengatakan bahwa ia telah menjadi abdi di kedaton," jawab Nyi Purbi.

"He? Menjadi abdi? Di kedaton mana dia mengabdi? Kadiri?" Sanjala mencoba menebak, tetapi kemudian Nyi Purbi menggeleng.

"Bukan, Gusti. Hamba sendiri tidak menyangka apabila ia akan mengajukan diri sebagai abdi kedaton."

"Lalu di manakah ia sekarang? Cepatlah kau katakan!" Sanjala mendesak.

"Ia..., sebenarnya ia di sini, Gusti! Bapa guru mengirimnya ke Haningan untuk menjadi prajurit!"

Oh, kali ini Sanjala seakan-akan tiada sanggup menerima kejutan bertubi-tubi. Oleh karenanya, ia mendekati si bekas emban lantas memegang kedua bahunya erat-erat.

"Katakan padaku, siapa nama anak itu?" tanyanya dengan nada menekan.

Nyi Purbi bergetar tubuhnya. Ia takut kalau-kalau sang patih akan menghancurkan tubuhnya kapan saja. Sedikit terbata-bata perempuan itu saat menyebut suatu nama.

"Na-namanya, Bapa guru memberinya nama..., Yudharangga, Gusti!"

Luruh sudah cengkeraman Sanjala pada bahu Nyi Purbi. Pandangannya menerawang. Ia lantas menjauh dari si bekas emban untuk duduk di singgasananya. Laki-laki itu berpikir keras hingga mengerut keningnya begitu dalam.

Tiada lagi perbincangan terjadi sebab sang patih sendiri rupanya masih menelaah keterangan dari si bekas emban. Ia pun perlu menimbang-nimbang segalanya sebelum memutuskan.

Di kala kekosongan itu, seorang prajurit sekonyong-konyong menghadap. Ia segera menjura singkat lalu melaporkan sesuatu.
"Ampun, Patih, seorang laki-laki peternak burung ingin menyampaikan pesan."

"He, ada yang membawa pesan penting lagi? Siapa laki-laki itu?" tanya Sanjala kebingungan dengan segala hal hari ini.

"Beliau mengaku bernama Ki Lungu. Seekor merpati miliknya membawa pesan khusus untuk Patih," jawab si prajurit.

Maka, Sanjala pun memperkenankan prajurit itu untuk mengaturkan pesan yang dibawanya.

Gulungan kecil dari pudak diterima. Dan mendadak sang patih bangkit dari singgasana. Sedikit aksara dan lambang yang tertulis pada bunga pandan itu sontak memerintahkan si prajurit untuk memanggil si pembawa pesan.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang