.
.Tawa-tawa kecil nan renyah mewarnai kediaman Ki Waluya siang itu. Terlihat sang tabib asyik bercengkrama dengan salah seorang warga yang berobat. Kaki si warga terkilir saat mengejar-ngejar anak kambing yang kabur dari kandang. Ketika itu, Nastiti baru saja kembali dari dapur. Ia pun mengambil tempat di dipan kosong yang berhadapan dengan dipan untuk si sakit, berniat bergabung dengan percakapan tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar gaduh di luar.
Awalnya, para penghuni kediaman Ki Waluya tidak menghiraukan, menganggap suara-suara berisik itu hanyalah anak-anak yang bermain atau bertengkar kecil, tetapi ketika suara ribut-ribut semakin kacau di telinga, keluarlah Ki Waluya dan Nastiti untuk mencari tahu sumber permasalahannya.
"Hei, hei, ada apa ini? Kenapa orang-orang pada lari-lari?" tanya Ki Waluya yang berhasil mencegat salah seorang tetangga.
"Gawat, Ki, gawat! Kita harus pergi dari sini!"
Mengerut kening Ki Waluya mendengar penuturan tetangganya tersebut. Maka, ia tanyakan lagi penyebabnya.
"Katakan pelan-pelan. Ada apa sebenarnya ini?"
Ki Waluya yang melihat raut wajah panik tetangganya itu turut menjadi panik pula padahal beliau belum mengetahui alasan mengapa orang itu berkata demikian.
"Ki, prajurit Hanimpura menyerbu padepokan Galung Asri tadi pagi. Dan, ada kemungkinan mereka akan melewati desa-desa sekitar, termasuk ke sini. Mari, Ki, segera kita melarikan diri daripada ikut dilibas nanti!"
Mendapat jawaban seperti itu, semakin nyatalah ketakutan di benak Ki Waluya. Ia berniat menyuruh Nastiti bersiap, tetapi baru saja menoleh, si gadis ternyata sudah berlarian, berseberangan dengan arah orang-orang yang hendak menyelamatkan nyawa. Ki Waluya pun menyerukan nama si gadis, tetapi itu tidak digubris. Mengetahui hal tersebut, Ki Waluya merasa bimbang, tetapi kemudian ia kembali masuk ke kediamannya. Diberitahu apa yang terjadi pada warga yang masih berdiam di dalam, setelahnya mereka segera meninggalkan desa.
Sementara itu, Nastiti yang mendengar kabar buruk dari Galung Asri langsung menuju tempat kejadian. Agak lama ia berlarian dari jalan satu ke jalan lain hingga akal sehatnya muncul. Gadis itu menghentikan larinya. Ia pilih satu tempat yang sepi manusia. Sambil berdiri, ia pejamkan mata, lalu satu nama pun ia sebut. Ia berharap Bhargawala berkenan muncul kali ini.
Sebenarnya Nastiti ragu jika pengawalnya itu akan menyambut panggilannya. Akan tetapi, ketika satu suara menyebutnya dengan hormat, seketika perasaannya membuncah. Nyatanya, Bhargawala seketika menanggapi. Pengawalnya itu tidak banyak bercakap walau beberapa pekan tidak bertemu.
"Ada yang Gusti Ayu butuhkan?"
Pertanyaan itu segera dijawab Nastiti dengan anggukan. Gadis itu merasa bukan waktunya jika ingin berbasa-basi mengenai keadaan sang sepupu. Sayangnya, ketika sebuah tempat yang ia ajukan untuk didatangi disebut, pengawalnya itu tidak serta merta menuruti.
"Kenapa? Kenapa aku tidak boleh ke sana?" protes Nastiti.
"Maafkan, hamba, Gusti. Tetapi sesuatu yang tidak baik sedang terjadi di sana. Itu bisa membahayakan Gusti Ayu."
Mata Nastiti menyipit.
"Jadi, kautahu apa yang terjadi di Galung Asri?"Bhargawala yang bergeming membuat Nastiti geregetan. Gadis itu mendesis-desis.
"Baiklah. Jika kau tidak mau mengantarku ke sana, aku akan pergi sendiri."
Kaki Nastiti yang baru melangkah itu seketika terhenti. Kala empunya menoleh, ternyata Bhargawala telah mencengkeram tangannya kuat.
"Hamba tidak bisa membiarkan Gusti Ayu dalam bahaya," ujar Bhargawala penuh ketegasan.
"Aku juga tidak bisa diam saja ketika Nawala dan lainnya celaka, lepaskan!" Nastiti membalas dengan sengit, tangannya membelot namun sulit terlepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Fiksi SejarahSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...