Bab 74

581 102 42
                                    

.
.

"Marilah, Gusti. Hari telah begitu larut. Angin malam semakin dingin, marilah, Gusti, masuk ke dalam bilik. Hamba khawatir Gusti akan sakit," rayu Dayang Sri bak seorang ibu membujuk anaknya.

Akan tetapi, Mayasari bergeming. Tatapannya lurus kepada wijayakusuma sedang dirinya duduk pada tatanan batu bata dengan kain merah tebal berjumbai kuning sebagai alasnya.

"Sebentar lagi. Aku masih ingin di sini," ucapnya lembut.

Dayang Sri dan rekannya, Dayang Sum hanya bisa pasrah atas jawaban serupa yang mereka dengar beberapa waktu lalu. Secemas apa pun, mereka tidak bisa berbuat banyak. Junjungan mereka seolah tidak hanya sakit di raga, tetapi juga di jiwa. Entah apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran sang dewi jelita tersebut.

Dersik sang bayu yang menyentuh tiap sendi taman sari Haningan nyatanya tidak mengganggu Mayasari. Sekali pun ia tidak memakai sesuatu untuk melindungi serangan angin tengah malam itu. Matanya menatap sendu kepada wijayakusuma seolah ingin bercerita. Hingga waktu bergulir pun tak terasa.

Malam yang semakin mencekam dan dingin menyerang. Dua dayang gawan Mayasari telah terkantuk-kantuk di dekat dinding bata, sedang empat prajurit yang berpasangan menjaga pintu masuk dan ke luar area wijayakusuma tetap menjalankan tugasnya dengan baik, sesekali menyapa prajurit lain yang meronda di sekitar taman, tetapi tentu tidak berani sekadar menengok keadaan sang junjungan. Mereka hanya penjaga area wijayakusuma, bukan prajurit pengawal prameswari.

"Aku tahu rasa ini terlarang, Bhargawala," ucap Mayasari kemudian, yang kala itu tidak ia pedulikan apakah didengar para dayang. Tetapi pada kenyataannya, dayang-dayang itu telah saling bersandar, tertidur.

"Tetapi, semua rasa kasih itu suci. Murni. Tidak ada dosa atas hal itu. Yang menodainya adalah pelakunya sendiri. Yang membiarkan diri mereka terjerat hawa nafsu. Aku tahu itu, aku adalah salah satu dari mereka," lanjutnya.

Air mata itu menetes jua, bahu Mayasari terguncang, menahan isak tangis yang menyesakkan dada. Hingga akhirnya tubuh ramping itu oleng. Hampir saja menyentuh tempatnya yang keras sampai sepasang tangan itu menyelamatkan Mayasari, tetapi sang empu telah tidak sadarkan diri. Dibawanya tubuh Mayasari yang dingin itu ke bilik. Tanpa mampu diketahui para prajurit karena sosok itu bisa membawa sang puan dalam sekejap ke mana pun.

Di atas sebuah ranjang yang begitu hangat nan wangi tubuh apsari elok itu dibaringkan. Hawa dingin dari tubuh Mayasari membuatnya iba. Duduklah ia di dekatnya. Diletakkan tangan kanannya di dahi si perempuan, seketika cahaya merah keeemasan berpendar. Tubuh Mayasari seolah bercahaya. Ketika dirasa tubuh itu telah cukup hangat, sosok itu menghentikan kegiatannya.

Diamatinya wajah ayu itu lama-lama. Wajah yang berhasil memikatnya. Kenyataan bahwa perempuan itu telah menyita perasaannya memang ditampik keras-keras awalnya. Akan tetapi, sang alam seolah ingin mempermainkan. Semakin ia menolak, perasaan itu malah menjadi kenyataan. Padahal ia bersumpah untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah diperbuat sang paman. Padahal telah ia tanamkan rasa enggan kepada manusia. Tetapi, rupanya kasih yang disebarkan perempuan itu berhasil menyusup ke lubuk hati.

Sesuatu yang besar akan terjadi pada dunia manusia-manusia itu.
Dan, kau akan melibatkan diri pada hal yang bukan tanggunganmu, Bhargawala. Itu akan berdampak buruk tidak hanya padamu tetapi juga Putri Kaundrika. Aku peringatkan ini karena tahu Gusti Ayu-mu tidak akan memilihku.

Sosok itu mengambil napas dalam-dalam. Pesan itu begitu mengganggu. Hingga akhirnya ia putuskan untuk pergi. Akan tetapi, sebelum itu ia sentuh kedua tangan sang jelita yang saling bertumpu di atas perut, kembali secercah sinar merah keeemasan itu muncul, lalu sekonyong-konyong sekuntum wijayakusuma tergenggam di sela-sela jemari. Perlahan, bunga itu mekar, menyebarkan aroma wangi yang begitu memikat.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang