Sekiranya telah menjelang sore ketika rombongan yang dipimpin Patria tiba di permukiman terdekat. Bersama-sama mereka membantu para brahmana yang terluka untuk mendapatkan pengobatan lebih baik. Ayu Sekar adalah yang paling tampak andilnya karena permukiman itu pun tidak mempunyai persediaan ramuan yang memadai. Ia rela bolak-balik dari permukiman tersebut ke padepokan demi merawat segelintir brahmana yang parah lukanya. Oleh karenanya, Yudharangga berkenan ikut serta.
Demikianlah, si pemuda bersama Ayu Sekar melewati jalan pintas. Awalnya, Yudharangga mengira akan menjumpai pemandangan semasa keluar dari pondok Nyi Kanthil dulu. Nyatanya, yang dilewatinya benar-benar menyerupai yang ada pada dunia manusia. Hutan, desa, pasar dan bahkan terdapat kerajaan kecil. Kebanyakan sosok yang dijumpai pun berwujud manusia pada umumnya.
Merasa penasaran, Yudharangga menyusul laju kuda putih milik Ayu Sekar yang memimpin.
"Apakah mereka tidak menyadari bahwa kita berbeda?" tanya si pemuda setengah berbisik. Di samping kiri-kanannya adalah 'manusia-manusia' yang tengah melakukan jual-beli dan tawar-menawar layaknya yang ada pada dunianya.
"Tentu saja tidak. Aku sudah merapalkan mantra sebelum kita kemari, jadi mereka tidak akan menghiraukan kita," jawab si gadis bercadar. "He, jauhkan kudamu itu! Kenapa sedari tadi dia menempel kepada Aswa? Membuatnya risih saja!"
"Maaf, Dewi."
Segera Yudharangga menjauhkan diri agar Jalu tidak mengganggu kuda milik Ayu Sekar yang diberi nama Aswa tersebut. Pemuda itu juga bingung kenapa kuda pemberian Jaka Barung itu selalu berbuat ulah.Setelah sampai di ujung pasar, dua pemuda-pemudi itu langsung disambut hutan yang penuh kabut. Ayu Sekar segera turun dari kudanya lalu mengusapkan jempolnya ke kelopak mata Aswa dan Jalu.
"Penglihatanmu juga harus 'ditutup'. Di hutan itu banyak sekali tipuan siluman yang bisa menjebak nanti," jelas si bungsu Tunjung Langit tersebut.
Menurut saja Yudharangga. Lantas ia pun turun lalu Ayu Sekar segera mengusap bagian mata pemuda itu.
"Terima kasih, Dewi."
Sesaat benak Ayu Sekar berdesir melihat senyum tulus dari Yudharangga. Namun segera saja ia tidak mengacuhkannya. Maka, dilanjutkan kembali perjalanan melewati hutan kabut tersebut. Sepanjang jalan hanya tampak kegelapan. Walau demikian, Yudharangga mampu melihat jelas jalan setapak yang dilewati seolah-olah ada penerang di tiap langkahnya.
"Kita sudah sampai."
Sesaat setelah Ayu Sekar berkata demikian, penglihatan Yudharangga berubah. Pepohonan lebat di depan sana kini berubah menjadi daerah lapang yang luas. Terdapat sebuah gubuk sederhana yang merupakan gubuk milik Nyi Kanthil.
"He, kenapa keadaannya berubah?" tanya Yudharangga sebab menyadari perbedaan dikala ia pertama keluar dari gubuk. Yang dilihatnya dulu adalah hutan mencekam di sekeliling.
"Itulah dunia maya, tidak ada yang pasti. Oleh karenanya akan sulit keluar apabila sudah terjebak." Ayu Sekar menerangkan.
Si gadis kemudian melepas kudanya begitu saja, membiarkan si kuda berlarian bebas di alam terbuka. Melihat hal tersebut, Yudharangga pun mengikuti. Dilepasnya tali kekang pada Jalu sehingga kuda itu langsung berlari mendekati Aswa, si kuda putih jelita. Pemuda itu menggeleng heran melihat Aswa tampak jual mahal atas pendekatan yang dilakukan Jalu.
"Apa yang kau lakukan di sana? Cepat bantu aku!"
Tersentak jua Yudharangga dibuatnya sehingga ia lekas-lekas menyusul si gadis memasuki gubuk.
Nyi Kanthil menyambutnya dengan sukacita setibanya di dalam gubuk. Perempuan sepuh itu dengan senang hati membantu sang murid memilah tanaman obat.
"Bapa memiliki Jatyanjana, apakah itu bisa digunakan, Guru?" tanya Ayu Sekar setelah mengumpulkan tanaman obat dalam keranjang rotan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Ficción históricaSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...