*Gyan mudra: sikap mudra dengan mempertemukan ujung jempol dengan ujung telunjuk sementara jemari lainnya tetap telentang namun rileks.
.
.Wajah Adi Baskara menekuk kesal. Pemuda itu mengirai pakaiannya yang basah, sesekali mengeluarkan bunyi decakan. Penyebab pemuda itu sering berdecak adalah karena sekeluarnya dari ceruk, air terjun menyambut tanpa suara. Dia yang hanya memusatkan perhatian ke satu titik cahaya sebagai penanda jalan keluar langsung saja tercebur dan terseret ke sungai di bawahnya tanpa tading aling-aling. Lebih-lebih, yang demikian membuat lainnya waspada sehingga mereka yang datang belakangan bisa menghindari air dengan melompati bebatuan. Hingga pemuda itu merasa jengkel karena hanya dirinya yang kena sial.
"Jangan muram seperti itu, Raden. Yang basah akan segera kering seiring perjalanan nanti," bujuk Nastiti. Gadis itu menyerahkan satu cakram milik Adi Baskara yang sudah dikeringkan oleh jaritnya.
"Terima kasih, Nimas."
Adi Baskara menerima senjatanya kembali. Ia layangkan pandangan ke sekitar. Ayu Sekar tampak celingukan sembari mondar-mandir. Dara padepokan Tunjung Langit itu mengabaikan keluhan Adi Baskara tentang jalan pintas yang tidak terlalu mulus. Si gadis hanya beralasan bahwa ilmunya belum cukup mumpuni untuk membawa banyak orang. Adi Baskara malah kena omel karena gadis itu mengingatkan dirinya yang bersikeras untuk turut serta. Hal tersebut membuat putra tumenggung itu tidak mampu membantah lagi, karena memang dirinyalah yang berkehendak untuk mengikuti rombongan Ayu Sekar.
Sementara itu, Yudha Erlangga dan Damar tampak mengawasi keadaan. Mereka tahu bahwasanya kawasan hutan itu memiliki hawa yang berbeda dari hutan kebanyakan. Ketika itu, dari arah selatan tiba-tiba berembus angin yang cukup kencang. Para muda-mudi itu segera mawas diri. Mereka mundur teratur sembari bersiaga kala mendengar tawa yang melengking-lengking. Dalam sekejap mata, sesuatu melesat ke arah Ayu Sekar dan rekan-rekannya kemudian terjatuh begitu saja. Benda lonjong dan cukup besar telah mendarat, menimpa pohon-pohon kecil yang rapuh batangnya.
Debu-debu yang mengepul perlahan terbawa angin, memperjelas penglihatan para muda-mudi yang belum mengetahui apa dan siapa di depan sana. Satu sosok perempuan tua berambut putih terbatuk-batuk begitu turun dari lesung yang terjatuh keras tadi. Satu tongkatnya menapak tanah, berjalan ia kemudian menuju Ayu Sekar dan lainnya.
"Nyi Jantur?! Ah, syukurlah Nyai segera datang."
Segera setelah sapaan Ayu Sekar tersebut, rekannya yang lain telah mengerti bahwa sosok perempuan tua di depan sana bukanlah seseorang yang harus dilawan. Maka, mereka menyarungkan kembali senjata-senjata yang tadinya telah diacungkan.
Tawa berderai dari si perempuan tua bernama Nyi Jantur tersebut. Rambut putih panjang yang digelung bagian tengahnya seperti Ayu Sekar itu menghampiri sang murid.
"Sebenarnya aku sudah di sini sedari tadi tetapi aku kesulitan menemukan kalian. Bagaimana jalan keluarnya tadi, mulus?" ucap Nyi Jantur. Ia tertawa-tawa lagi setelahnya. Tawa yang nyaring itu tampaknya memang menjadi ciri khasnya.
"Mulus, Nyi, kami tidak ada yang terluka," balas Ayu Sekar.
Ucapan Ayu Sekar yang demikian membuat Adi Baskara memasang wajah tidak terima.
"Ya, memang tidak ada yang terluka, tetapi hanya menjadi basah kuyup karena ada yang sampai terjun bebas ke sungai," tandas si pemuda kemudian.
Seketika itu Ayu Sekar mendelik ke arah Adi Baskara, tetapi nyatanya pemuda itu mengabaikannya.
Nyi Jantur tertawa-tawa. Tongkatnya yang melekuk-lekuk dengan ujung berupa kepala ular itu dipukul-pukul ke tanah.
"Ya, ya, muridku ini memang belum pandai membawa banyak orang ke dunia lain. Lagi pula, ini adalah hasil yang memuaskan padahal baru sekali ini dia melakukannya. Bagus, Ayu Sekar."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...