Bab 18

715 92 16
                                    


"Oh, kalian pendekar bayaran yang dikirim Raka Gangsar. Tidak heran sebenarnya," ujar Sanjala begitu si dalang disebutkan.

"Heh, kami memang dikirim olehnya untuk menghabisimu! Tetapi karena bocah itu ada pula, tidak ada salahnya kami singkirkan sekalian! Sebentar lagi kalian akan mampus kulumat seperti rombongan samya haji!" Demikian balas Nagapeti yang kemudian melanjutkan serangan.

Di pihak Bhayanaka sendiri telah terjadi adu tanding yang sengit pula. Ia bersama Jatmika menghadapi seorang pendekar sepuh yang luar biasa tangguh. Si pemuda pun menyadari bahwa tataran yang dipakai pendekar sepuh itu belumlah sungguh-sungguh alias hanya main-main saja.

Ki Daka bergerak mundur usai mendapat tolakan keras dari Bhayanaka. Terkekeh-kekeh ia setelahnya.

"Boleh juga, Gusti. Tetapi, saya bayangkan dari Gusti adalah sesuatu yang lebih dari ini. Mungkin saja harapan saya yang berlebihan," ujarnya mengungkapkan kekecewaan.

Bhayanaka enggan membalas. Ia sempat melirik ke arah satu pendekar lainnya yang hanya diam di tempat. Begitu was-was jua kepadanya sebab tidak terbaca pergerakannya.

Tahu-tahu saja Ki Daka melemparkan selendangnya sehingga mengejutkan Bhayanaka. Demikian Jatmika pula sehingga mereka berpencar berlawanan arah.

"Suruh Petak bergerak jika kau kesulitan dengan dua bocah itu, Ki Daka!" seru Nagapeti di tengah pergulatannya dengan Sanjala.

"Kau jangan asal nyeplak, Nagapeti! Kau sendiri kesulitan padahal lawanmu hanya menggunakan satu tangannya saja!" balas Ki Daka yang bosan juga mendengar celotehan Nagapeti.

Dibalas demikian tak ayal membuat Nagapeti naik pitam. Memanglah sedari semula, Sanjala hanya menggunakan keris untuk melawannya yang menggunakan pedang bergerigi. Sebelah tangannya lagi digunakan patih Haningan itu untuk tetap mempertahankan satu damar kecil sebagai penerangan yang sebenarnya tiada seberapa.

Nagapeti yang merasa terhina sontak mengerahkan tenaga yang ada. Semakin ganas serangannya, semakin gesit pula gerakannya.
Namun demikian, tiada terlihat Sanjala kesulitan. Sang patih masihlah sanggup mengimbangi kemampuan si pendekar.

Mengumpat-umpat Nagapeti dibuatnya. Gemas pula benak Kesatria Langer itu karena tidak jua mampu melumpuhkan sasaran.

"Kutebak, kalian mengeroyok mendiang samya haji untuk bisa mengalahkannya. Apabila tidak demikian, sungguh telah menjadi tulang remuk dirimu saat ini!" cela Sanjala. Semasa Nagapeti mengungkapkan keterlibatannya dalam peristiwa di Hutan Cawis, seketika benaknya bergelegak. Tiada dinyana pelaku yang membuat tak nyenyak tidurnya itu ada di depan mata. Kesempatan ini tentu tidak akan disia-siakan untuk pembalasan.

Nagapeti meludah. Semakin masam air mukanya usai mendengar pernyataan sang patih.
"Jangan membual!" cetusnya. "He, Petak, jika tidak berniat membantu Ki Daka, bergabunglah denganku! Lekas kita habisi semuanya!"

Bhayanaka baru saja kembali menolak selendang Ki Daka kala melihat si pendekar patung tiba-tiba berlari ke arah Nagapeti.

"Jatmika, susul dia!" perintahnya. Namun bagai kilat, Ki Daka menyambarkan selendangnya ke arah si pengawal. Tiada yang bisa menangkal sehingga terkena pula Jatmika sebelum menyadari adanya serangan tersebut. Si pengawal mengerang sebelum akhirnya jatuh dan berguling-guling di tanah.

Ki Daka terkekeh-kekeh sedangkan Bhayanaka menjadi panas hatinya.

"Satu telah tumbang, tinggal satu lagi," ucapnya meremehkan.

Sang gusti muda kembali memasang kuda-kuda yang berbeda dari sebelumnya. Tubuh pemuda itu merendah dengan tangan membuat gerakan mencengkeram, mengarah ke depan. Sekalipun tangannya telah kebas akibat tolakan demi tolakan dengan selendang si pendekar sepuh, ia tidak mungkin lagi menganggap enteng lawannya.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang