Bab 1

2.3K 183 29
                                    

Bab 1

Tangis beberapa bocah menjadi peramai suasana sebuah gubuk kecil milik seorang dukun pijat, Nyi Wiasih. Hampir sewindu sudah perempuan yang rambutnya penuh uban itu menekuni pekerjaannya. Dibantu putri semata wayang, Nastiti. Demikian kiranya yang berjalan sehari-hari di kediaman si dukun. Pagi hingga sore selalu terlihat para perempuan bersama anak-anaknya. Kadangkala yang datang pun tidak hanya ingin memijatkan anak, tetapi juga ramuan agar si anak bertambah nafsu makannya, bertambah tinggi badannya, bahkan sampai ada yang berkenan membuat si anak jadi penurut. Nyi Wiasih tentu akan mengabulkan permintaan-permintaan yang disanggupi asal bukan hal-hal di luar nalar manusia.

Sementara putrinya ialah seorang gadis yang cekatan. Ia cukup cakap dalam membantu Nyi Wiasih, meski ada kalanya gadis mungil berparas ayu itu keluar sifat bandelnya. Pada usianya yang baru belasan warsa itu tentu telah timbul gejolak untuk bermain-main bersama kawan-kawan sebaya dan mengenal hal-hal baru.

"Kudengar, di Hanimpura sana terjadi kegaduhan karena samya haji akan mengangkat putranya sebagai penerus." Seorang perempuan dengan tubuh agak gemuk mengawali pembicaraan dengan perempuan lainnya yang sibuk menyirih.
[Samya haji: gelar/sebutan untuk raja bawahan pada masa Kerajaan Kadiri]

"Kalau dari orang-orang di peken, para pamong cenderung mendukung Raka Gangsar yang jelas-jelas adalah kemenakannya," tanggap perempuan yang lainnya pula.

Nastiti menjauhkan telinga dari sasak yang menjadi pembatas antara bilik depan dan tengah. Menguping sepertinya menjadi kegiatan paling disukai ketika para ibu-ibu memulai percakapan sembari menunggu anak-anaknya selesai dipijat atau sedang menunggu giliran. Dan, bilik yang berada tepat di samping tempat pijat memudahkan gadis bermata bulat itu mendengar semua pembahasan yang sedang terjadi di kabuyutan tempatnya berada.
[Kabuyutan: dusun kecil yang dipimpin oleh seorang Buyut/setara lurah]

"Nasti!"

Nastiti terkesiap manakala Nyi Wiasih memanggil.

"Saya, Indung," balasnya. Agak malu-malu ia ketika perempuan-perempuan di sana menjadikannya pusat perhatian. Padahal Nastiti telah terbiasa bertemu segala macam orang, tetapi rasa-rasanya tatapan para pelanggan Nyi Wiasih kala itu seolah-olah menjadikannya penjahat yang tertangkap basah.
[Indung: ibu]

"Ambilkan nira untuk putri Nyi Suti!" perintah Nyi Wiasih.

Nastiti melihat sejenak seorang ibu yang berusaha menenangkan bayinya. Kemudian tanpa diperintah dua kali, ia kembali ke belakang. Langkahnya cepat menuju sebuah meja dengan kendi dan beberapa cawan. Sebuah cawan tertutup daun jati dipilih, setelahnya si gadis lekas-lekas kembali ke depan.

"Silakan, Nyi. Nastiti menyadapnya tadi pagi. Airnya masih bagus dan tidak basi karena aku tadahkan ke kulit manggis," kata Nyi Wiasih seraya menyerahkan nira kepada ibu si bocah. Setetes demi setetes nira itu dioleskan ke bibir si bocah hingga tenang kembali.

Nastiti sendiri memilih kembali ke tempatnya semula karena bisik-bisik para perempuan yang terdengar menyebut namanya.

"Terima kasih, Nyi."

Nyi Wiasih tersenyum tipis sembari menerima setandan pisang dari Nyi Suti sebagai imbalan.

"Omong-omong, Nastiti semakin cantik saja, Nyi Wiasih. Apa sudah ada jodohnya?" goda Nyi Suti.

Nyi Wiasih menggeleng. Diterimanya satu bocah terakhir seraya mendengarkan segala kelakar para pelanggan. Ia tidak mempermasalahkan perihal para perempuan yang betah saja bercengkerama padahal gilirannya telah usai. Baginya yang sudah sepuh, celotehan mereka adalah hiburan sekaligus penambal rasa sepi.

"Dengar-dengar, Nyi Jami mencari jodoh untuk sulungnya," kata si perempuan gemuk.

"He, jangan si Palan! Sulung Jami itu kurang kejantanannya. Lebih baik dengan Baga, cucu pertama Ki Buyut," usul perempuan lain.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang