"Siapa di antara kalian yang bernama Bhayanaka!" sergah seorang pemuda yang membuat Nawala dan Yudharangga terheran-heran.
"Siapakah Ki Sanak ini?"
"Cepat katakan! Yang mana yang bernama Bhayanaka!" Pemuda itu tidak menghiraukan pertanyaan Yudharangga.
"Aku!"
Si pemuda sontak menatap nanar kepada Nawala yang menyeru.
"Oh, kau cukup berjiwa kesatria! Sayangnya, perilakumu seperti anjing berebut mangsa. Tidak pantas manusia seperti dirimu menyandang gelar samya haji!"
Nawala menatap tajam pemuda di depannya tersebut. Dia masih belum mengerti maksudnya dan menerka-nerka siapakah pemuda yang baru ditemuinya itu.
"Sebenarnya siapa kau ini? Mengapa berbicara seperti itu?"
Pemuda itu menatap sinis pada Yudharangga yang mengajukan pertanyaan.
"Mungkin ada baiknya aku memperkenalkan diri sebelum nyawamu kucabut. Agar arwahmu nanti tidak melayang-layang karena penasaran, meski itu lebih menyenangkan bagiku." Si pemuda menandaskan. "Namaku Renggana, putra bungsu akuwu Sungkana. Nah, karena kau sudah tahu namaku, sekarang waktunya aku mencabut nyawamu..., Bhayanaka!"
Baik Nawala maupun Yudharangga terkejut manakala pemuda bernama Renggana itu telah menghunus sebilah keris.
"He, tunggu dulu!"
Nawala tidak sempat bicara lagi. Renggana telah meloncat maju dan menyerangnya. Keris panjangnya terarah pasti ke dada. Tetapi, Nawala telah bersiaga sebelumnya sehingga tusukan senjata itu tidak mengenai sasaran. Loncatannya tepat ke belakang.Renggana terus mengejar dengan kerisnya yang menusuk-nusuk dan menebas. Sementara Nawala hanya bisa memanfaatkan keadaan yang masih rimbun semak, juga pepohonan yang bisa menipu lawannya. Dia juga tidak sempat mengambil Nagasangkar yang masih tergantung di punggung.
Yudharangga yang tadi sempat menghindari sabetan Renggana berniat membantu. Keris telah dihunus dan segera saja ia melompat maju, menghadang keris Renggana yang masih mengganas. Suara senjata beradu pun terdengar di hutan yang masih terang senja tersebut.
"Jangan menggangguku!" bentak Renggana.
"Jelaskan dulu mengapa kau menyerang kami?" Yudharangga menuntut.
"Aku tidak punya urusan denganmu! Menyingkirlah!"
Tetapi, Yudharangga enggan menuruti perintah pemuda itu. Diladeninya tebasan-tebasan mematikan Renggana dengan tepat.
Sementara itu, Nawala yang mendapat bantuan dari rekannya belum juga berniat menggunakan senjata. Pedang Nagasangkar masih aman di punggung dengan terbalut kain. Dilihatnya Renggana bertarung dengan sengit melawan sang kawan.
"Pergilah! Aku tidak mempunyai urusan denganmu! Urusanku adalah dengan dia!" Renggana lagi-lagi mengingatkan meski tidak pula melambatkan tempo serangan.
Namun demikian, Yudharangga tidak menanggapi. Masih saja ia membalas serangan Renggana.
"Bedebah!" umpat Renggana ketika lawannya mulai mampu membalik keadaan.
Dirinya yang awalnya mendesak kini justru semakin mundur.Serangan lawannya sederhana, cenderung mudah dibaca tetapi berkekuatan besar seperti hentakan kaki gajah padahal dia hanya menggunakan sebilah keris. Kaki-kakinya meloncat-loncat bagai kancil, sehingga begitu senjata beradu, lawannya akan mendapat kejutan dengan kekuatannya.
Renggana yang kesulitan mengimbangi serangan itu segera memberikan tangkisan dengan sekuat tenaganya sehingga masing-masing mundur ke belakang.
"Dedemit! Sudah kubilang aku tidak mempunyai urusan denganmu. Tetapi jika kau masih memaksa juga, aku tidak akan segan-segan menghabisimu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...