.
.Guncangan keras di kereta menciptakan jerit dan rasa takut pada benak dua gadis di dalamnya. Setelah mendengar pekik kesakitan, gadis-gadis itu telah menduga sesuatu yang buruk terjadi. Dan, ketika pertemuan benda-benda tajam berdenting, menjelmalah kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Aba-aba dari si kusir terdengar seperti membentak, menciptakan suasana semakin menegangkan.
Minten hanya bisa merangkul Lembayung dengan tubuh gemetaran. Tangisnya sesenggukan, sesekali menyebut nama orang tua atau Darmi. Sementara itu, Lembayung tidak henti memanjatkan doa. Dirinya yang pernah mengalami kejadian serupa agaknya lebih mampu mengendalikan diri, walau dalam benaknya was-was.
Para gadis itu memang tidak tahu apa yang terjadi. Mereka hanya berpikir ada kawanan perampok dan sekarang harus melarikan diri.
Teriakan yang sahut-menyahut di belakang sana membuat Lembayung gelisah. Ingin ia memberikan kekuatan pada si kereta untuk terbang, tetapi apatah dayanya yang hanya manusia lemah.
"Cepat, Ki! Mereka menyusul kita!"
"Ini sudah cepat!"
Debat si kusir dengan rekannya menambah gaduh. Si rekan kusir sesekali menengok ke belakang, ke tempatnya para bramacorah mengejar. Ada yang berloncatan dari pohon ke pohon, tetapi sebagian besarnya memang hanya berlari dalam kecepatan luar biasa. Yang demikian membuat si rekan kusir ketar-ketir. Sementara si kusir sendiri sudah kaku tangannya. Gigil takut disertai perasaan yang memburu membuatnya tidak bisa mengendalikan laju kuda dengan baik. Hingga suatu ketika, tiba-tiba saja salah seorang bramacorah sudah menjejakkan kaki di atas kereta.
Si rekan kusir yang menyadari hal itu bahkan belum sempat memberi peringatan ketika tendangan si bramacorah berhasil membuatnya terjungkal dari kereta, berguling-guling ke semak-semak, lalu tiada lagi yang tahu nasibnya.
"Hentikan keretanya!" perintah si bramacorah.
Si kusir yang menyadari tidak lagi punya rekan agaknya sudah kehabisan akal. Bukannya memperlambat, ia terus memberi aba-aba pada si kuda untuk melaju kencang. Yang demikian membuat si bramacorah kesal. Ia berniat melompat turun ke tempat si kusir. Malangnya, tiba-tiba saja kereta berguncang karena roda-roda kayunya menghantam bebatuan, menyebabkan si bramacorah tercekluk. Sempat ia meraih salah satu bagian kendaraan untuk berpegangan, sayangnya itu tidak bisa bertahan lama hingga jatuhlah ia ke semak-semak, sama seperti si rekan kusir yang ia tendang tadi.
Mengetahui keadaannya cukup aman, si kusir segera membelokkan arah ke hutan. Ia paksa si kuda penarik untuk menerobos semak-semak dan ilalang tinggi. Ia tarik tali kekang sembari memberikan aba-aba pada si hewan penarik kereta tersebut untuk melamban.
"Nimas berdua, melompatlah dari kereta!" seru si kusir.
Adalah Lembayung yang mendengar perintah itu dengan saksama. Akan tetapi, tentu saja ia tidak serta-merta melakukannya.
"Nimas! Melompatlah! Saya akan mengecoh para begundal itu!"
Lembayung, dengan segala pertimbangan dan pemikirannya, segera menarik-narik lengan Minten.
"Mari, Minten, kita harus melakukannya."
Minten yang agaknya sudah lebih tenang akhirnya hanya bisa menuruti permintaan si kusir. Ia dahulukan Lembayung agar bisa memberi arahan tempat jatuh yang aman. Setelahnya, ia sendiri melompat.
Derap kuda terdengar menjauh diikuti langkah kaki para bramacorah yang mengejar. Sedikit tertatih-tatih Lembayung kala bangkit. Dia merasa perih pada lengan dan kaki, mungkin terkena kerasnya ranting semak belukar. Walau masih merasa linu dan nyeri, ia mencoba mencari jalan. Kedua tangannya meraba-raba udara, mencari pegangan. Sedikit waspada ia kala mendengar gemerisik mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Ficción históricaSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...