Bab 41

518 90 11
                                    


Babahan utama Galung Asri saat ini disergap hawa dingin permusuhan antara para cantrik dengan pasukan yang diutus pihak Hanimpura. Pada mulanya utusan yang dipimpin Senapati Yodya itu diterima secara baik oleh Galung Asri. Akan tetapi, usai menyampaikan pesan yang memerintahkan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap padepokan, muncullah perselisihan tersebut. Pihak Galung Asri menolak secara tegas perintah Raka Gangsar. Mereka menganggap bahwa Hanimpura telah melecehkan kedudukan padepokan. Namun demikian, pasukan utusan itu enggan mengalah pula. Mereka kukuh dengan perintah sang samya haji untuk melakukan tugas.

"Ini adalah perintah langsung dari samya haji! Menolak berarti menyatakan perlawanan!" seru Senapati Yodya seraya mengangkat lontar perintah tinggi-tinggi. Kuda yang ditunggangi itu pun bergerak gelisah seolah-olah memahami benak menggelora sang junjungan.

"Kami tidak akan mengizinkan siapa pun mengobrak-abrik padepokan kami! Apakah kalian tidak pernah menimba ilmu sehingga berani menghina tempat suci ini?" balas Sumitra, salah satu cantrik.

"Samya haji berada dalam kedudukan tertinggi di sini sehingga segala sesuatunya haruslah tunduk kepada beliau sebagai penguasa! Kalian yang mengada-ada perihal alasan-alasan penolakan akan dimintai pertanggung jawaban!" Yodya enggan mengalah.

Maka berikutnya, yang tampak adalah kedua pihak saling berhadapan dengan sikap siap melawan.

"Tutup pintunya!" perintah Sumitra.

"Berani kalian melakukannya, kami tidak segan bertindak! Kami memiliki wewenang untuk itu!" kecam Yodya sementara prajurit di bawah kepemimpinannya telah menyiapkan senjata.

Namun demikian, para cantrik tidak mengindahkan peringatan tersebut. Mereka memilih menuruti perintah kawan. Yang terdekat dengan pintu masuk segera menggerakkan gerbang.

Lalu tiba-tiba pekik kesakitan itu terdengar serentak.

Sumitra dan cantrik lainnya terkejut melihat kawan-kawannya terkena panah hingga tumbang. Dengan demikian, tiada lagi tading aling-aling dan pecahlah pertentangan itu.

Para prajurit mendesak masuk sementara cantrik Galung Asri mati-matian menahan. Pertentangan itu pun tidak seimbang karena para murid Galung Asri sebagiannya tanpa senjata sehingga mudah bagi pihak prajurit menerobos.

Kegaduhan itu pada akhirnya membuat para guru keluar. Terkejutlah mereka manakala melihat banyaknya murid yang terkapar. Merasa keadaan tidak bisa dikendalikan, beberapa dari mereka akhirnya bergabung membela para cantrik sedangkan lainnya yang memang tidak memiliki olah kanuragan melaporkan kejadian kepada dua guru besar.

Keadaan semakin memburuk manakala Rsi Gesang, Rsi Bimaka, dan Nini Lohita tiba. Tanpa banyak bicara, tiga-tiganya maju menghadang pasukan. Rsi Bimaka melumpuhkan seorang prajurit dengan mudah kemudian melemparkan prajurit itu ke sepasukan lainnya sehingga mereka roboh bersamaan. Nini Lohita melemparkan sinjang putihnya yang panjang sehingga berhamburan tombak prajurit dibuatnya. Adapun Rsi Gesang dengan gerakan cepat nan lincah menumbangkan satu per satu prajurit bersenjata.

Melihat adanya para guru yang turun tangan, Yodya mengisyaratkan pasukan untuk menahan diri. Para prajurit yang mendengar tanda isyarat segera beringsut. Demikian para guru yang mengetahui keadaan segera memerintahkan para cantrik untuk tidak melanjutkan perlawanan.

"Sungguh celaka kalian yang membuat kerusuhan sehingga menumpahkan darah di sini!" cerca Rsi Bimaka. Wajahnya memerah menahan amarah yang menggelegak. Tangannya menuding sang senapati dengan tegas.

"Kami tidak berniat melakukan perlawanan, Rsi. Kami menjalankan tugas dari samya haji Gangsar tetapi mereka menghalangi!" bantah Yodya.

"Terang saja kami menolak! Kami masih membaca mantram dalam pura sampai peristiwa ini terjadi! Aku bahkan tidak tahu kutukan apa yang pantas untuk menghukum kalian!" sergah Rsi Bimaka.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang