.
Mata setajam elang itu menyipit kala mendongak dari celah-celah daun. Langit cerah siang ini menjadi kawan Nawala bersantai di bawah naungan pohon mangga yang belum berbunga. Pada tangannya tergenggam satu anak panah berwarna hitam. Beberapa kali dia mengamati benda tersebut seolah-olah akan ada yang berubah pada si senjata. Bayang dedaunan yang menimpa sebagian tubuh pemuda itu bergerak-gerak, mengikuti si benda yang tertiup angin.
Tidak berselang lama, satu lelaki dewasa terlihat mendekat, diikuti seorang yang lain. Nawala mengalihkan perhatian kepada tamu-tamunya tersebut. Lekas-lekas dia bangkit hingga mereka sampai di hadapannya. Kedua tangan yang ditangkupkan menjadi tanda hormat antara satu sama lain.
"Saya pikir menjadi kepala keamanan di Istaka Ksetra membuat seorang Paman Patria akan terpaku di sana. Sepertinya sekarang ini tugasnya lebih santai." Nawala mencoba berkelakar.
Patria tertawa. Lelaki yang penampilannya lebih baik dari sebelumnya itu mengambil tempat di tanah beralas rumput setengah kering. Walau dia dan kawan seperjalanannya mengenakan kain yang sederhana, tetapi karisma yang dimiliki tetaplah berbeda dari warga kebanyakan.
"Apa akhirnya Nakmas menyesal telah menolak tawaran emas dari Gusti Pangeran Batik Madrim kala itu?" balasnya.
Nawala terkekeh seraya menggeleng-geleng.
"Tidak, tidak, Paman. Dia sudah pernah menyerah dariku. Jika kembali, mungkin aku tidak akan bisa keluar dari Malwapati. Kudengar, beliau sedang mengadakan sayembara? katanya.
"Benar. Kiranya kita tahu sebenarnya itu untuk menarik Nakmas kembali agar mau menerima perjodohan dengan Gusti Putri Setyawati." Patria menuturkan dan disambut tawa pendek dari Nawala.
Teringat pemuda itu usai perang berakhir. Sang pangeran tanpa tading aling-aling memberikannya jabatan. Nawala yang enggan menolak terpaksa menerima. Akan tetapi, setelah mengetahui jika itu adalah usaha sang pangeran untuk mempermudah perjodohannya dengan sang adik, Nawala segera menerangkan perihal hubungannya dengan Nastiti.
Kala itu, sang pangeran sempat bersikukuh. Namun, Nawala tidak ingin membagi hati. Telah ia bayangkan sebelumnya jika perang usai, ia akan bersama Nastiti dan tinggal di kediaman sederhana. Pemuda itu tahu jika keputusannya akan mengecewakan sang pangeran sekaligus sahabatnya tersebut, tetapi ia lebih khawatir lagi jika sang pangeran memaksa Nastiti untuk hidup dalam lingkungan pemerintahan. Itu hanya akan membahayakan si gadis.
Nawala kemudian melirik satu pemuda sebaya dirinya yang mengambil tempat di samping Patria.
"Dan, hal penting apakah yang membuat demang muda ini menempuh perjalanan jauh dari Haningan?"
Yang disinggung berdecak. "Begini saja sambutan seorang kawan lama ketika disambangi?" katanya.
"Kau mau disewakan penari, Anggara?"
Terkekeh-kekeh tiga manusia itu mendengarnya.
"Bagaimana kabar Bayung dan putrimu?" Nawala melanjutkan.
"Mereka dalam keadaan baik. Bayung menitipkan salam untukmu."
Nawala mengangguk. "Sampaikan pula salamku padanya. Kebetulan sekali aku baru mengambil pesanan."
Ia pun mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggang. Sebuah kantong tipis berisi gelang dari manik-manik pilihan disodorkan kepada Anggara.
"Berikan pada Kemuning. Aku yakin dia akan suka."Anggara menerima kantong cokelat tua tersebut. Ia kemudian menimang-nimangnya.
"Kurasa aku akan menyimpan ini lebih dulu sampai umur Kemuning cukup untuk mengerti benda apa yang diberikan padanya. Terakhir kali embannya menemukan Kemuning mengunyah kerikil. Bayung sampai demam dua hari padahal Kemuning tidak apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...