Bab 36

555 88 10
                                    


Pertentangan itu akhirnya terjadi. Suara logam yang saling beradu membuat hewan-hewan di sana menyingkir. Burung-burung memilih terbang meninggalkan medan laga dengan kicauan sebagai peringatan kepada kawan sebangsa.

Angin pagi pegunungan yang dingin seolah-olah ikut serta menjadi saksi bagaimana sekelompok manusia saling mengadu senjata, berusaha memutus benang sari kehidupan yang mereka anggap tidak sejalan, tidak sepemikiran. Anak-anak panah beterbangan di udara, bagai menari bebas di sana sebelum menentukan pada siapa ujung runcingnya akan menancap.

Nawala dan Yudharangga telah memutuskan untuk menghadapi pihak Senapati Arya Dipa. Sebab setelah beberapa saat pertempuran, dua pemuda itu tidak mendapat serangan dari Wanda Tirta dan kelompoknya.

"Kalian akan dikenang sebagai pengkhianat!" seru sang senapati di tengah perlawanan sengitnya dengan Wanda Tirta.

"Itu jika kau masih hidup untuk mencatatnya dalam lembaran lontar!" balas Wanda Tirta sembari menahan keris sang senapati lalu menangkisnya kasar. Berputar tubuh akuwu tersebut sembari menebaskan keris panjangnya ke beberapa prajurit malang yang hendak menyerang.

Pekik kesakitan kembali memenuhi udara, terbawa sang bayu lalu meneruskannya sampai ke telinga para binatang yang bersembunyi, menambah keengganan mereka untuk keluar.

Arya Dipa pun mengerti, bahwa para prajuritnya semakin berkurang kendati pihak lawan juga telah jatuh korban. Kelompok pemanah pun seakan-akan tidak berguna lantaran para penggawa yang lebih berpengalaman itu mampu memecah belah mereka dengan kelompok tameng baja.

Harus diakui, kelompok Wanda Tirta lebih unggul dalam siasat meski jumlahnya tidak sampai setengah pasukan sang senapati.
Ditambah, sang gusti muda Haningan yang ilmu kanuragannya bukan hanya isapan jempol belaka. Beberapa kali Arya Dipa melihatnya dengan mudah merobohkan tiga-empat prajurit dalam sekali gerakan. Jangan remehkan pula kawannya yang bahkan mampu mematahkan tombak hanya dengan hantaman keris.

Keadaan itu sebenarnya berbanding terbalik dengan Nastiti. Si gadis mencoba melawan para prajurit Kadiri semampunya. Genggaman tangan si jajaka lancang telah terlepas semenjak para prajurit itu mulai menyerang langsung. Keadaannya hampir sama ketika ia melawan bramacorah-bramacorah bersama senapati muda dahulu. Namun kali ini gadis itu lebih bebas menyerang.
Sesekali ia mundur menghindari sabetan pedang maupun tusukan tombak tajam, sesekali pula melentingkan diri ke pohon untuk sekadar mencari pengalihan.

Keadaan yang seperti itu membuat Nawala khawatir. Bagaimanapun, gadis itu tidak seharusnya ikut dalam pertentangan ini. Hingga pada suatu kesempatan, pemuda itu berhasil memangkas jarak.

"Nyi Sanak!" panggilnya.

Sontak Nastiti menoleh dan seketika kedua tangannya cepat tanggap untuk menangkap sesuatu yang dilempar oleh si jajaka lancang.

"Pakai itu!"

Nastiti kebingungan ketika sebilah keris--yang merupakan sitaan dari lawan yang kalah--telah tergenggam. Pasalnya, ia tidak pernah berlatih menggunakan senjata tersebut. Namun karena keadaan yang begitu mendesak, Nastiti mencoba menggunakannya.

Nyatanya, memang mempelajari sesuatu tidaklah mungkin dalam sekejap mata. Meskipun Nastiti menggenggam erat kerisnya, senjata itu malah terlempar jauh begitu mudah ketika beradu dengan keris milik salah seorang prajurit.

"Mengapa kau menggunakannya seperti itu?" seru Nawala disela usahanya menangkis serangan lawan. Dirinya sesekali memperhatikan si gadis.

"Aku tidak bisa menggunakan keris!" balas Nastiti usai berhasil memukul telak rahang lawan hingga terjengkang.

"Lalu apa yang kau bisa?"

Agak lama Nastiti menjawab. Gadis itu masih sibuk dengan lawannya yang kali ini hanya mengandalkan kegesitan.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang