Bab 43

571 100 13
                                    


Berlarian muda-mudi itu di tengah lebatnya semak belukar. Yudharangga berada di depan guna mengarahkan kawan tentang sumber siulan yang masih terdengar. Nawala sendiri tetap menggenggam tangan Nastiti agar tidak terpisah. Kira-kira sepuluh tombak kemudian, mereka mendapati sosok Jati sedang menunggu bersama dua orang lainnya. Salah satu sosok itu adalah Jatmika sementara sosok lainnya tidak dikenal.

"Arya Adi Baskara sudah menunggu, marilah Gusti!" ajak Jatmika.

Meskipun masih diliputi banyak tanya, Nawala dan lainnya mengikuti saja ke mana Jati dan Jatmika membawa. Mereka meneruskan pelarian dengan berbelok arah. Sesekali Yudharangga menyempatkan memeriksa keadaan kalau-kalau para pendekar menyusul. Akan tetapi, tiada pula ia melihat sosok manusia lain yang mengejar.

Entah berapa lama mereka berlari hingga sampai jua di sebuah jalan setapak. Pada satu tempat, Arya Adi Baskara telah menunggu dengan kuda-kuda tunggangan.
Merekah senyum pemuda itu hingga menampakkan gigi gingsul yang menambah pesona parasnya.

"Syukurlah kalian tiba lebih cepat dari perkiraan," sambutnya.

"Mari segera pergi dari sini! Aku pikir para pendekar itu masih bisa menyusul apabila mereka berkehendak demikian." Sosok yang belum dikenal Nawala dan kawannya itu berujar.

Maka, segera saja kelompok baru itu memulai perjalanan. Kuda-kuda dipacu untuk melaju lebih cepat. Arah tujuan mereka adalah berbalik ke Haningan. Meskipun Nawala masih belum paham apa yang terjadi, tetapi kehadiran Jatmika, Adi Baskara, dan Jati membuatnya yakin bahwa sesuatu yang besar telah menanti. Ia sendiri membonceng Nastiti yang mulai terlihat pucat. Gadis itu pasti mati-matian menahan sakit.

Senja telah terlewat ketika kelompok itu masih menyusuri kawasan hutan yang seolah-olah tanpa batas. Kuda-kuda dipacu lebih agar setidaknya bisa memperpendek jarak ke tujuan.

"He, kau mau istirahat dulu?" tawar Nawala, tetapi yang ditanyai tidak menyahut. "Nasti?"

"Hm?"

"Kau tidak apa-apa? Sebaiknya kita periksa dulu lukamu itu," ujar Nawala. Ada nada khawatir yang kentara pada ucapannya tersebut.

"Oh, tidak perlu. Aku hanya sedikit mengantuk. Mungkin karena kelelahan."

"Kau yakin?"

"Ya." Nastiti menjawab.

"Kalau begitu eratkan peganganmu!" perintah Nawala.

Tanpa ragu, Nastiti mengeratkan pegangannya pada pinggang si pemuda. Ada banyak pemikiran berkecamuk usai pertentangannya tadi sehingga ia tidak lagi memikirkan hal lain. Bahkan, lukanya itu tidak begitu dirasa.

Nawala pun kembali memusatkan perhatian kepada tujuan hingga sosok yang belum dikenal memberikan isyarat untuk berhenti.

"Hari telah gelap sebaiknya kita beristirahat lalu melanjutkan lagi sebelum matahari terbit," sarannya. "Pendekar tadi sepertinya urung mengikuti."

Maka, yang lainnya segera turun dari tunggangan masing-masing kemudian menyiapkan tempat dan segala sesuatunya. Namun demikian, mereka tidak menyalakan api unggun dan memilih berkumpul-kumpul dalam gelap.

"Bagaimana keadaannya, Ki?" tanya Nawala ketika sosok yang belum dikenalnya itu selesai memeriksa Nastiti. Sungguh beruntung karena beliau menguasai ilmu pengobatan.

Sempat bertanya-tanya benak si pemuda dengan sikap sosok tersebut yang melihatnya dengan tatapan ganjil lalu mengalihkan pandangannya kepada Nastiti yang telah terlelap.

"Apakah Nyi Sanak itu estri Gusti?" tanya sosok tersebut.

"Oh...," Kebingungan pula Nawala dibuatnya sehingga ia pun menjawab, "dia kawan saya. Ada apa, Ki? Apa keadaannya mengkhawatirkan?"

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang