Bab 28

606 82 7
                                    

Janur-janur dipasang sebagai penambah hiasan selain bunga warna-warni. Dua kursi untuk singgasana pengantin pun tampak begitu siap ditempati. Kediaman Ki Wuntur telah ramai orang-orang bahkan sebelum pagi datang. Wajah-wajah mereka begitu siap menyambut kebahagiaan. Satu pandita telah sedia pula mengesahkan ikatan perkawinan hari ini. Segalanya tampak sempurna.

Pada bangsal tersendiri, terlihat Nastiti menunggu perias membenarkan melati dan kantil pada rikma Lembayung. Sungguh indah penampakannya di hari istimewa ini. Sutra membalut tubuhnya yang singset. Pahyas semakin menambah pesona rupanya, lebih-lebih ketika empunya tersenyum.

Nastiti pun turut bahagia melihat sang kawan yang bagai saudara itu akan menyambut kehidupan baru bersama laki-laki yang dikehendaki. Namun demikian, sebenarnya sedari kemarin si gadis tiada bisa tidur dengan nyenyak. Hatinya merasa gelisah padahal bukanlah ia yang akan kawin. Pada akhirnya, si gadis setengah siluman terjaga semalaman sehingga hingga kini berusaha menahan kantuk.

Tiada berapa lama, seseorang meminta calon pengantin perempuan untuk segera keluar karena pihak mempelai laki-laki telah tiba.

"Yunda Bayung, aku permisi ke belakang sebentar," pamit Nastiti yang merasa gelisah di benaknya semakin runyam.

Lembayung menahan tangan Nastiti yang berada di pundak.
"Jangan lama-lama. Pastikan kau ada saat upacara pengesahan nanti," katanya.

Nastiti mengangguk mantap.
"Tentu saja, aku hanya sebentar."

Setelahnya gadis itu meninggalkan Lembayung yang kini diarahkan ke halaman depan di mana orang-orang telah menunggu.

Gendang, sitar, dan genta-genta dibunyikan sehingga acara semakin menggempita. Ki Wuntur dan Nyi Bangah masing-masing berdiri di sisi kanan dan kiri sang putri. Dengan langkah perlahan, mereka menuntun Lembayung untuk menyongsong pihak laki-laki yang dituntun oleh keluarganya pula dengan langkah yang sama.

Sementara upacara tersebut masih berlangsung, Nastiti kini mondar-mandir di pekarangan. Entah mengapa perasaannya begitu gundah gulana padahal tadinya merasa baik-baik saja.

"Apakah terjadi sesuatu kepada Bhargawala?" gumamnya. Sekalipun masih enggan bertemu, tetapi ikatannya dengan sang pengawal memanglah tiada bisa dihindarkan. Resah pula ia memikirkan apabila pengawal sekaligus sepupunya itu mengalami celaka.

Beberapa kedipan mata setelahnya, tiba-tiba saja Nastiti menangis. Karuan saja itu membuat si gadis bertambah bingung karena merasa tidak seharusnya bersedih. Hanya saja, hatinya merasakan lara yang sangat hingga ia tidak bisa menahan bulir-bulir bening itu menetes. Terduduklah Nastiti kemudian sembari sesenggukan tanpa alasan.

Tanpa disadari, sesosok pemuda mengendap-endap menuju si gadis yang masih menunduk. Pemuda itu dengan hati-hati dan perlahan mendekati Nastiti lalu dengan tangkas memukul bagian tengkuknya.

Tubuh Nastiti ambruk ke tanah. Ia kehilangan kesadaran. Namun segera saja sosok pemuda tadi menggendong si gadis lalu pergi dari sana secepat mungkin. Langkahnya tergesa menuju sebuah kereta kuda yang telah disiapkan.

"He, cepatlah, Sapta! Mereka telah datang!"

Sosok pemuda yang ternyata adalah Sapta itu meletakkan tubuh Nastiti dengan hati-hati ke dalam kereta. Sementara itu, Ki Buyut hanya bisa geleng-geleng melihat kenekatan sang putra yang kukuh membawa gadis idamannya untuk melarikan diri dari kelompok penindas.

Bapa dan anak itu pada akhirnya merasa teperdaya. Mereka sadar bahwa lambat laun tidak akan mampu memenuhi permintaan para begundal sehingga memutuskan untuk kabur. Ki Buyut yang takut mati itulah yang memutuskan demikian sehingga telah menyiapkan harta-hartanya untuk dibawa pula.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang