Tubuh Nastiti bergoyang-goyang dalam pedati kecil tanpa atap. Sementara yang berlarian di sekelilingnya adalah para prajurit berjumlah tidak lebih dari lima belasan. Dan yang berkuda paling depan adalah senapati yang menangkapnya. Semula ia mengira akan turut dihukum di Kuningan semasa sang senapati menyerahkan para bramacorah. Nyatanya, ia malah dibawa senapati muda itu untuk kembali ke Haningan.Begitu terkejut dan kesal pula Nastiti mendengar keterangan tersebut dari salah seorang prajurit. Telah jauh ia melakukan perjalanan menuju tempat baru, sekarang malah kembali ke Haningan yang merupakan pusat pemerintahan dari Talanggung.
Dan semakin besar rasa kesal itu manakala keadaannya yang kini terikat kedua tangan. Rombongan barunya ini pun agaknya tergesa-gesa sehingga si kuda penarik pedati melaju lebih cepat. Karuan saja hal itu membuat tubuh Nastiti terguncang keras.
Anggara sendiri memiliki alasan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Kursawapati. Semasa menyerahkan bramacorah, samya haji Kuningan mengabarkan berita duka yang menimpa Aditya dan Ratih beberapa hari lalu. Lantas tanpa berpikir dua kali, ia mengarahkan prajurit yang mengikuti untuk kembali ke Haningan, bahkan tidak menunggu samya haji Kuningan yang akan pergi pula untuk melayat. Sang senapati berpikir keras selama perjalanan tersebut perihal apa yang sebenarnya terjadi di Hanimpura dan bagaimana bisa peristiwa buruk itu terjadi?
Setelah beberapa lama, senapati muda menengok ke belakang guna mengamati tawanan kecilnya. Membawa gadis pemilik panah memang memperlambatnya, tetapi ia jelas tidak bisa melepaskan gadis yang masih penuh dengan teka-teki tersebut. Anggara juga sempat mengulik sedikit keterangan lain, yakni tentang asalnya.
Namun, itulah yang kini membuatnya bertambah pikiran. Apabila si gadis berasal dari Talanggung, bagaimana bisa ia berburu jauh ke Pringaranya? Apakah kehidupannya memang berpindah-pindah? Lalu, bagaimana dengan si panah yang mampu melumpuhkan sasaran secara total? Ramuan apa yang dibuat si gadis?
Demikian pemikiran-pemikiran Anggara yang turut memperkeruh suasana hati. Ia pun mulai memperlambat laju manakala menyadari terangnya rembulan tidak mampu lagi menembus rimbunnya hutan yang mereka lalui.
"Kita beristirahat di sini dan sebelum matahari terbit besok, kita harus sudah berangkat," perintahnya.
Prajurit-prajuritnya pun menyalakan damar sebagai penerangan lalu bergantian berjaga. Beberapa yang lainnya menyiapkan perapian. Nastiti sendiri dibiarkan duduk dalam pedati. Gadis itu memilih menatap gelapnya hutan di depan mata sampai sebuah aroma wangi yang begitu sedap merasuk ke indra penciuman. Seketika itu pula, perutnya memberontak secara beringas. Barulah ia menyadari bahwa sedang kelaparan.
Namun tiada berapa lama, seorang prajurit melepaskan ikatan. Disusul sang senapati yang membawa umbi bakar. Makanan itulah yang dicium baunya oleh Nastiti dan sangatlah dusta apabila ia tidak menginginkannya.
"Apakah kau membuat senjatamu sendiri?" tanya Anggara.
"Tidak, Gusti," jawab Nastiti.
"Lalu siapa? Di mana kau memesan senjatamu?"
Sejatinya, Nastiti telah lelah dengan senapati yang agaknya begitu tertarik dengan panahnya. Belum lagi, perutnya sudah melilit akibat harumnya umbi bakar yang menggoda. Namun, gadis itu pun masih memiliki unggah-ungguh sehingga ia pun menjawab saja pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan.
"Seorang kerabat," jawabnya singkat.
"Apakah kerabatmu itu seorang gusali?"
[Gusali: tukang keris, pembuat senjata]Nastiti menggeleng-geleng.
"Bukan, Gusti.""Aku senapati, bukan seorang Gusti," cetus Anggara, sementara dilihatnya si gadis menatapnya enggan. Ia pun hendak mengutarakan pertanyaan berikut, tetapi bunyi "kerucuk" dari perut si gadis membuatnya urung.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
أدب تاريخيSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...