Dwisana mondar-mandir dalam kediaman kecilnya dengan gusar. Beberapa kali dia menggumam tidak jelas, mengerang tanda kesal juga mengepalkan kedua tangannya dengan gemas. Sanu, si ular weling kesayangan, bahkan tidak diacuhkan. Hingga sebuah ketukan membuyarkan segala kegundahannya. Ketika sosok yang ditunggu mendekat, rentetan pertanyaan segera dia lontarkan.
"Katakan padaku, apakah itu benar? Apakah Raka Gangsar benar-benar membatalkan penyerangannya kepada Galung Asri? Kenapa? Kenapa dia melakukan itu? Katakan padaku, Geni!"
Rara Geni beringsut mundur ketika Dwisana mendekatinya dengan sorot mata ular yang menakutkan tersebut.
"Tenanglah, Nyi! Tenangkan dirimu dulu! Bertanyalah secara teratur sehingga aku tidak bingung menjawabnya," balasnya.Seraya masih melotot, Dwisana menerima saran dari Rara Geni. Perlahan-lahan dia mengambil Sanu yang tergeletak begitu saja di lantai lalu menuju dipan di dekatnya, mendudukinya kemudian membenahi mimik wajahnya agar terlihat lebih tenang sembari mengelus-elus si ular weling.
Setelah yakin lawan bicaranya mampu menguasai diri, maka Rara Geni mengambil kedudukan seaman mungkin, tidak terlalu jauh tetapi juga tidak terlalu dekat, dengan masih berdiri.
"Aku sudah menanyakannya kepada Raka Gangsar sendiri. Dia memang mengurungkan untuk menindak Galung Asri dan malah memberikan perlindungan. Aku juga tidak tahu alasan sebenarnya. Dia hanya bilang bahwa penindakan itu belum perlu dilakukan." Rara Geni mengimbuhkan.
Dwisana memejamkan kedua matanya, hembusan napas ia keluarkan dengan berat. Sebentar kemudian, ia buka kembali indra penglihatannya tersebut.
"Kau tahu apa penyebabnya? Kau tahu keponakanku selalu mendengarkan perkataanku, mengabulkan semua permintaanku dan melakukan segala saranku."Roro Geni meremehkan saja ucapan Dwisana. Baginya, kepatuhan Raka Gangsar pada perempuan itu merupakan kewajiban seseorang kepada satu-satunya keluarga yang dimiliki. Rara Geni bahkan meragukan jika Raka Gangsar menganggap Dwisana benar-benar bibinya.
Sejurus kemudian, terdengar kikikan tanpa henti dari si perempuan ular. Yang demikian membuat bulu kuduk Rara Geni meremang.
"Kau meragukan hubungan kekeluargaan kami, Geni?"
Terkesiap si lawan mendengar pertanyaan tersebut. Merutuklah ia dalam hati karena melupakan kemampuan setengah siluman perempuan bernama Dwisana tersebut. Harusnya ia lebih berhati-hati dalam berpikir.
"Ah, tentu tidak, Nyi!" dalih Rara Geni seraya mencoba mencari pengalih pembicaraan, "bagaimana jika aku membantumu mencari tahu penyebab Raka Gangsar melakukannya?" lanjutnya.
Dwisana hanya tersenyum kecut, katanya, "Tidak..., tidak perlu. Aku sudah tahu mengapa Raka Gangsar melalaikan tujuannya," tanpa melihat Roro Geni yang bingung dan penasaran, Dwisana melanjutkan, "hanya orang itu yang bisa mengubah keputusan Raka Gangsar. Pertama, dia membujuk agar sayembara bagi musuh utama keponakanku dihapus dan sekarang ia ingin melindungi Galung Asri lewat pengaruhnya. Benar-benar perempuan yang licik!"
Mendengar kata 'perempuan', pikiran Rara Geni segera tertuju kepada sosok Mayasari. Siapa lagi perempuan yang dekat dengan pemimpin Haningan tersebut?
"Apakah maksud Anda adalah Prameswari?" ungkapnya.Segera terdengar gebrakan oleh Dwisana, bahkan Sanu sampai terlempar dari pangkuan. Demikian pula dengan Rara Geni yang langsung mengambil langkah mundur tatkala Dwisana tiba-tiba bangkit dari tempatnya dan menatap penuh amarah.
"Jangan sebut perempuan murahan itu dengan Prameswari! Dia bahkan tidak pantas menyandangnya! Harusnya Raka Gangsar tidak mengawini perempuan penghianat itu!"
Dwisana mendesis.
"Apakah maksud Anda dengan perempuan penghianat, Nyi?" Dengan rasa penasaran tinggi Rara Geni bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...