Kabar mengenai Sang Mapanji Suddhawangsa yang akan melayat ke Haningan telah tersebar sehingga tidak heran segala perangkat Hanimpura begitu sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Di dalam maupun di luar kedaton berseliweran abdi dalem yang sibuk menata tempat mereka agar layak manakala sang penguasa tertinggi tersebut datang.
Demikian halnya dengan Patih Sanjala. Terlihat tidak tenang duduknya selama membaca laporan-laporan kenegaraan. Semenjak kematian Aditya dan ditahannya Bhayanaka, tugasnya semakin banyak. Bahkan, ia jarang bertemu sang putri sekalipun tinggal satu kedaton. Terlebih tanpa alasan yang gamblang, Anggara membatasi pergerakan Mayasari. Sanjala pun membiarkan hal tersebut sebab sang sulung yang memberikan alasan bahwa itu semua demi kesehatan Mayasari.
Kabar dari Kursawapati itu pun membuatnya resah pula karena telah dipastikan bahwa kedatangan Sang Mapanji Suddhawangsa bukan hanya untuk melayat, tetapi juga memutuskan hukuman untuk Bhayanaka. Dan, tiada hal yang terpikirkan oleh sang patih selain hukuman mati.
Sanjala bisa saja meninggalkan Bhayanaka di saat seperti ini, tetapi demi Sang Hyang, sedikit banyak kehadiran pemuda itu telah mempengaruhinya. Setiap hari bertemu dan saling bertukar pandangan menciptakan rasa kagum pula, bahwa sebenarnya bocah yang dibawa secara tiba-tiba oleh Aditya itu hanyalah seorang yang polos dan memiliki banyak kelebihan sebagai pemimpin yang baik. Andai ia adalah benar-benar putra kandung Aditya, sungguh saat ini Haningan akan sangat beruntung.
Sang patih mengumpat lirih. Ia kesal untuk mengakui bahwa telah tersimpan rasa kasih yang membuatnya bertindak sedemikian untuk si pemuda.
Manakala memikirkan rencana-rencana yang telah disusun, seorang hulun datang menghadap.
"Ada apa?" Sanjala bertanya lebih dulu sebelum si hulun mengaturkan sembah.
"Ampun, Patih, seorang perempuan yang mengaku sebagai bekas emban mendiang gusti Permaisuri bersikeras untuk menghadap."
Pandangan Sanjala teralihkan dari lontar. Ia menyisihkan lontar tersebut untuk memusatkan perhatian atas laporan si hulun.
"Bekas emban mendiang gusti Permaisuri? Apa yang dia katakan?" tanyanya.
"Dia bilang hanya ingin mengutarakan sesuatu yang penting kepada Patih secara langsung,' jawab si hulun.
Sanjala menghela napas panjang. Ia kembali melirik lontar-lontar yang sempat disisihkan tadi, kemudian mulai menimbang.
"Tempatkan di pendapa," putusnya yang membuat si hulun segera melaksanakan tugas.
Sepeninggal si hulun, sang patih tidak lantas tergesa-gesa menemui si bekas emban, melainkan menyelesaikan pekerjaannya memeriksa beberapa lontar yang genting kedudukannya.
Kira-kira barulah dua peminuman wedang kemudian, Sanjala beranjak dari tempatnya untuk menemui si bekas emban. Dan, begitu terlihat sosoknya di pendapa, serta merta bekas emban itu turun dari tempatnya lalu bersimpuh di atas rerumputan seketika itu juga. Tangannya menjura dengan kepala menunduk dalam.
"Oh, Gusti, ampuni hamba, Gusti!" ujar si bekas emban yang karuan saja membuat Sanjala bingung.
"He, ada apa denganmu? Dan siapa kau ini?"
"Nama hamba Purbi, Gusti. Saya bekas emban yang dulu pernah membantu mendiang permaisuri Ratih melahirkan," ungkap si bekas emban.
Makin tidak mengerti sang patih akan maksud si bekas emban yang menyatakan jati dirinya tersebut sehingga ia pun bertanya kembali,
"Apa yang membawamu kemari? Seorang hulun melaporkan kau akan mengatakan hal yang penting.""Benar, Gusti," si bekas emban berusaha menenangkan diri agar suaranya lebih jelas manakala menerangkan maksudnya. "Setelah keluar dari kedaton, hamba pindah ke wilayah perbatasan. Namun, ketika kabar kematian samya haji bersama prameswari terdengar, sungguh hati hamba merasa bersalah tak terperi."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...