Bab 27

560 82 7
                                    

"Menggunakan sungai memang menghemat waktu, tetapi itu akan memudahkan prajurit Haningan menemukan kita. Mereka telah menyebar ke segala pelosok. Aku punya jalur yang lebih baik, yakni melalui Gunung Kampud, Kawi, Gora, baru ke Pawitra. Memang lebih lama, tetapi lewat jalur itu lebih aman. Tinggal pastikan kita tidak berselisih dengan prajurit Kadiri," terang Yudharangga.

Bhayanaka mengusap dagu. Mata tajamnya mengamati coretan di tanah yang telah diubah titik-titiknya oleh Yudharangga. Sepertinya sang gusti muda mulai menimbang saran prajurit sandi tersebut.

"Kudengar, keadaan di Kerajaan Kadiri juga kurang baik," ujarnya kemudian.

"Ya. Para brahmana mulai meninggalkan Prabu Kertajaya karena tidak berkenan akan perilakunya yang dianggap semena-mena. Tetapi, sejauh ini belum ada pergerakan khusus dari kedua belah pihak. Hanya saja, keadaannya juga sama mencekamnya dengan Haningan." Yudharangga menanggapi.

"Bagaimana dengan kabar tentang salah satu akuwu di Kadiri? Bukankah terjadi pergolakan juga di sana?" tanya Bhayanaka.

Yudharangga berhenti mencungkil kelapa muda yang dipanjat sebelumnya kemudian menuangkan airnya ke daun pisang yang telah dilipat sedemikian rupa sehingga menjadi tadah.

"Maksudmu Tumapel? Yang kudengar, memang terjadi pertentangan besar. Mendiang Patih Sanjala pernah mengungkapkan kegelisahannya pula akan hal itu. Beliau merasa lambat laun bisa saja terjadi perebutan kekuasaan di Kadiri dan itu akan berdampak pada kerajaan-kerajaan di sekitarnya," jawab Yudharangga.

Tersenyum kecut Bhayanaka mendengar hal tersebut. Ia membagi air tadi untuk dirinya dan juga sang kawan dalam tadah lain.
"Tetapi nyatanya itu malah terjadi di Haningan," celetuknya.

Yudharangga enggan menanggapi dan meneguk air kelapanya hingga tandas. Matanya menyipit terkena cahaya rawi yang terik silau. Ia kemudian mengamati sekeliling yang merupakan lembah penuh hutan tanpa permukiman.

"Kita harus menyeberang Brantas setelah ini. Kawasan penyeberangan mungkin lebih membahayakan karena bisa saja prajurit Haningan sudah bersiaga di sana," ujarnya.

"Kau punya saran?" tanggap Bhayanaka.

"Kita bisa mengambil jalur selain kawasan penyeberangan tetapi tentu saja tidak akan ada sampan di sana kecuali membuat sendiri." Yudharangga membalas.

"Kau bisa berenang, bukan?" Marilah kalau begitu."

Yudharangga batal menanggapi pernyataan Bhayanaka yang kini melangkah seolah-olah tanpa beban. Ia pun segera menyusul si pemuda yang tiada menunggunya itu. Semak dan rerimbunan diterabas. Sesekali pula mereka berhenti manakala babi hutan melintas atau berbelok dari jalur ketika mendengar auman macan. Karena memang jalur yang mereka pilih masihlah liar dan jarang dilalui manusia.

"Arusnya memang tidak deras, tetapi sungainya dalam dan mungkin terdapat tanah hisap di beberapa titik. Kau yakin akan berenang begitu saja?" tanya Yudharangga.

"Tidak ada pilihan, daripada harus membuat sampan, itu akan membuang waktu. Marilah, kita siapkan diri," balas Bhayanaka yang kemudian berbalik untuk menuruni dataran tinggi tersebut. Namun ketika itu, pergerakan yang terlihat di bawah sana membuat dadanya berdesir. Mata tajam Bhayanaka menyipit guna memperjelas sosok manusia yang berderet tersebut.

"Prajurit Haningan," ungkap Yudharangga.

"Mari, Yudha!" ajak sang gusti muda manakala tiada melihat kesempatan untuk menyeberang. Mereka harus menyelamatkan diri dulu dari prajurit-prajurit tersebut. Namun pelarian pemuda-pemuda itu pun terlihat oleh para prajurit yang menyisir sehingga mereka mengejar pula.

"Awas!" seru Bhayanaka.

Sontak Yudharangga terhenti larinya hingga hampir terjerembab ketika satu panah yang meleset ke pohon kini terpampang di depan mata. Terlambat satu kedipan mata, pemuda itu bakal bolong kepalanya.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang