Bab 69

691 109 27
                                    

"Apakah masih sakit?"

Nawala berdehem kecil untuk menghilangkan rasa ganjal di benaknya.
"Tidak. Sudah tidak," jawabnya.

Nastiti mengeratkan simpul pada tangan kiri Nawala, lalu mengambil tangan yang satunya, dia bebat tangan kanan pemuda itu dengan kain putih.

Selama berada di Candipura, dirinya memang merasa kurang bercakap-cakap dengan Nawala. Bahkan ia hampir lupa pada niatannya untuk meminta maaf. Kehadiran setengah siluman seperti Pangeran Dhistira yang seolah memujanya, membuatnya sempat lupa waktu dan sekitar.

Namun, malam itu Nastiti sebisa mungkin menyempatkan diri menemui si pemuda yang menjadi tujuannya keluar dari Gunung Gede. Kebetulan juga Nawala tengah merawat kedua tangannya yang sempat ia lukai, sehingga ia pun turut membantu.

"Aku rasa ini akan membekas cukup lama," ujar Nastiti dengan wajah suram, kedua tangannya masih sibuk membungkus tangan kanan Nawala dengan rapi.

"Membekas pun tidak masalah. Anggap saja sebagai kenang-kenangan," si pemuda membalas.

"Kenang-kenangan apa yang membuat luka?"

Nawala tertawa pendek saja. Nastiti melirik sebentar, tetapi kemudian ia pusatkan lagi perhatiannya kepada si tangan.

"Nah, selesai."

Dipandanginya hasil karya si gadis. Cukup rapi memang.

"Maaf."

Nawala kembali memandang Nastiti, wajah gadis itu menyiratkan rasa bersalah yang mendalam.

"Hei, bukankah kau sudah meminta maaf sebelumnya? Aku rasa satu kata maaf sudah cukup. Lagi pula, ini sudah tidak apa-apa."

Kesenyapan menemani sepasang pemuda-pemudi yang duduk lesehan di undakan serambi bangsal. Suara-suara khas hewan malam tidak mereka dengar di Candipura. Niatan Nawala untuk segera kembali ke Haningan tertunda lagi karena sesuatu hal yang tidak jelas.

"Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?"

Ketika Nastiti hanya menanggapinya dengan anggukkan pendek, Nawala melanjutkan,
"Sebenarnya apa yang kau bicarakan dengan Pangeran Dhistira? Jawaban apa yang dia tunggu darimu?"

Segera Nastiti memalingkan wajahnya, tiba-tiba saja rasa malu kembali merayapi hati.
"Tidak ada. Bukan hal yang penting," jawabnya ragu.

Nawala hanya menghela napas perlahan. Ditatapnya wajah si gadis yang seolah bercahaya diterpa cahaya api dari cawan-cawan penerang.

"Sepertinya kau betah berada di sini."

Nastiti menoleh.
"Tentu saja. Tempat ini sangat indah dan semua yang ada di sini sangat baik padaku."

"Ya, tentu saja. Sayang sekali aku tidak bisa menetap di sini."

Mendapat pernyataan seperti itu entah mengapa membuat perasaan aneh pada benak Nastiti.
"Kau akan segera kembali ke sana?"

"Ada banyak masalah yang harus diselesaikan. Aku khawatir dengan keadaan yang lainnya di luar sana."

Kembali Nastiti mengalihkan pandangannya ke depan, yang tampak padanya bangsal-bangsal yang lain.

"Apakah kau akan ikut?"

Nastiti menoleh cepat. Pertanyaan itu sederhana dan tidak mengancam, tetapi pada benak si gadis terasa begitu berat untuk dijawab.

Yang demikian menimbulkan rasa tidak senang pada Nawala. Pemuda itu benar-benar yakin bahwa Pangeran Dhistira menyatakan sesuatu yang berhasil mempengaruhi si gadis. Akan tetapi, pada pendapatnya yang lain timbul suatu kesimpulan. Bahwasanya pemilik Candipura itu sama halnya dengan Nastiti, mereka sama-sama setengah siluman. Jadi, patutlah si gadis merasa nyaman dan tenang di sini.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang