Bab 68

484 96 20
                                    

"Jadi, perempuan itu bukan setengah siluman murni?"

Pangeran Dhistira mengangguk.
"Dia melakukan semacam ritual khusus untuk menyatukan kekuatan siluman dengan dirinya."

"Ritual apa?" tanya Nastiti dengan rasa penasarannya yang membubung tinggi.

"Saya rasa terlalu dini jika menceritakannya sekarang, akan tetapi mungkin Putri Kaundrika juga perlu mengetahui. Jadi, dalam ritual ini, yang bersangkutan akan melakukan semacam hubungan."

"Hubungan apa?"

"Anda tahu, itu semacam hubungan yang biasa dilakukan seluruh makhluk hidup jika ingin memperoleh keturunan."

"Oh." Mendadak Nastiti merasa malu atas pertanyaannya sendiri. Walau ia belum sepenuhnya paham, tetapi ia masih bisa menangkap intinya. Menunduklah si gadis dengan sikap tersipu dan sungkan.

Keheningan pun menguasai tempat para makhluk berbeda bangsa itu berkumpul. Hingga deheman Nawala berhasil mengusir rasa canggung.

"Kasarnya, dia memaksakan kehendak untuk menjadi siluman. Akan tetapi, karena suatu hal kekuatan siluman yang diterimanya terputus sehingga ia menjadi demikian."

"Tepat sekali."

"Lalu, apa hubungannya dengan saya? Mengapa dia menyerang padahal kami baru pertama bertemu?"

Pangeran Dhistira mengusap pinggiran tempatnya duduk yang tampak begitu tebal dan empuk.
"Soal itu, aku tidak mempunyai kewenangan untuk menjawab. Karena mungkin di luar sana ada seseorang yang lebih pantas untuk menerangkan kepadamu. Yang jelas, dia mempunyai hubungan dengan manusia yang sekarang menjadi lawanmu."

Nawala tidak mau bertanya lagi. Dirinya masih ingat kala si perempuan ular menyebut-nyebut masalah keponakan, tetapi ia tidak mau terburu-buru untuk menyimpulkan.

"Jika begitu, bolehkah saya mengetahui perihal yang menimpa seorang brahmana beberapa tahun lalu? Saya yakin, beliau juga menemui Pangeran di sini."

Pangeran Dhistira termenung. Tentu dirinya masih ingat dengan seorang pendeta dan dua prajurit yang menemani. Dia sendiri yang berniat menemui sang pendeta kala itu.

"Tentu, beliau merupakan utusan kedua dari pimpinan Haningan yang berkuasa kala itu. Tetapi, sayangnya kawanan perampok di Lembah Jerit sudah tidak bisa diajak bicara. Oleh karenanya, aku membantunya untuk bersembunyi barang sejenak."

"Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Beliau tidak memberikan keterangan apa pun setelahnya, kecuali kepada mendiang ayahanda yang juga bungkam. Dan, mengapa Pangeran berkenan membantu?"

Lagi-lagi, senyum tipis yang menawan itu kembali menghiasi wajah elok sang pangeran.
"Itu karena, ayahandaku pernah menjadi pendeta."

Terdengar suara batuk dan tampaknya Adi Baskara tersedak minuman ketika mendengar jawaban dari sang pangeran tadi. Nawala pun menepuk-nepuk pelan punggung si pemuda yang telah berair matanya itu.

"Jangan terlalu terkejut. Bahkan seorang brahmana pun juga memiliki nafsu. Lagi pula, beliau masihlah seorang pertapa muda kala itu, belum sempurna tingkat tapanya sehingga mudah tergoda ibundaku dalam wujud manusianya. Begitulah yang aku tahu. Dan, mungkin pendeta yang aku lindungi kala itu belum bisa menerima kenyataan bahwa pada kaumnya terdapat orang-orang yang belum bisa meninggalkan urusan duniawi dengan legawa."

"Maafkan saya, Pangeran." Adi Baskara menunduk sungkan, tidak ia sangka jika  setengah siluman yang mengaku telah berumur lima ratus tahun itu berdarah brahmana.

Pangeran Dhistira hanya menyunggingkan senyum maklum. Sementara itu, Nawala semakin mengerti alasan pendeta utusan mendiang ayahandanya itu memilih bungkam dan menghilang.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang